News  

Tarif Cukai Hasil Tembakau Naik, Rokok Jadi Mahal, Pembeli pun Turun

Pemerintah menyebut kebijakan tarif cukai hasil tembakau mendorong kenaikan indeks kemahalan rokok, sehingga berdampak terhadap penurunan pembelian rokok. Per November 2022, penurunan produksi rokok domestik sebesar 3,3 persen.

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan penurunan tersebut disebabkan salah satunya indeks kemahalan rokok naik 12,2 persen.

“Dari kenaikan cukai hasil tembakau selama ini, memang didesain untuk menciptakan harga per bungkus, indeks kemahalan (rokok) bisa dipertahankan atau sedikit meningkat,” ujarnya saat Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi XI, Senin (12/12/2022).

Pemerintah menaikkan cukai hasil tembakau atau cukai rokok sebesar 10 persen pada 2023 dan 2024. Adapun kenaikan tarif juga berlaku cukai elektrik sebesar 15 persen selama lima tahun ke depan.

“Meskipun produksi rokok kita menurun karena adanya cukai, namun serapan tembakau lokal mengalami kenaikan. Dalam lima tahun terakhir, produktivitas tembakau didorong luas area meningkat 239.207 hektare,” ucapnya.

Sri Mulyani mencatat realisasi penerimaan cukai tembakau meningkat selama lima tahun terakhir. Pada 2022, penerimaan tarif cukai tembakau sebesar Rp 216 triliun atau naik dari 2021 sebesar Rp 188 triliun.

“Pada 2021 dan 2022, kita desain (tarif cukai) level yang relatif normal, mempertimbangkan inflasi terutama menjaga sisi konsumsi rokok, penerimaan negara, target APBN dan dari sisi tenaga kerja serta petani,” ucapnya.

Berdasarkan data Susenas Maret 2022 BPS, rokok merupakan komponen pengeluaran rumah tangga tertinggi kedua. Di perkotaan komponennya sebesar 12,21 persen sedangkan di pedesaan sebesar 11,63 persen. Sehingga, kata Sri Mulyani, kenaikan tarif cukai rokok penting untuk menekan prevalensi atau tingkat konsumsi rokok.

“Tingginya konsumsi rokok ini dilema bagaimana agar bisa memegaruhi konsumsi rumah tangga,” ujarnya.

 

Menurut Sri Mulyani, tingginya konsumsi rokok memberikan dampak negatif yang serius bagi rumah tangga. Sebab, semakin banyak konsumsi rokok maka alokasi belanja lainnya akan berkurang.

 

“Kenaikan cukai rokok agar lebih memprioritaskan barang-barang yang lebih bergizi, terutama dibutuhkan oleh anak-anak, sehingga mereka bisa lebih sehat dan lebih baik,” ucapnya.

BPS mencatat rumah tangga miskin rata-rata mengeluarkan Rp 246.382 per bulan khusus belanja rokok. Padahal, uang itu dapat digunakan belanja bahan pangan bergizi, sehingga kualitas rumah tangga bisa lebih baik.

Anggota Komisi XI DPR RI, Anis Byarwati, meminta pemerintah melakukan pengkajian kenaikan tarif cukai hasil tembakau 2023-2024. Sebab, bisa berpengaruh ke penerimaan negara dan tenaga kerja di industri rokok.

Apalagi, sampai saat ini cukai hasil tembakau masih sumber penerimaan negara terbesar dibanding cukai lain. Ia mengingatkan, perlu pertimbangkan berbagai sisi karena industri ini banyak menyerap tenaga kerja, terutama perempuan.

“Kita minta pemerintah harus bisa mempertimbangkan keseimbangan, antara sisi kesehatan itu juga penting, konsumsi rokok kalangan anak-anak itu harus dibatasi dan tapi juga bagaimana peran negara dari cukai itu belum ada penggantinya,” kata Anis, Senin (12/12/2022).

Ia menilai, ini memang masih jadi dilema karena jika dinaikkan tentu berdampak ke petani dan pekerja industri tembakau. Serta, tidak langsung berpengaruh ke perekonomian masyarakat yang memang menggantungkan hidup ke industri tembakau.

Anis mengingatkan, selain berdampak ke industrinya, tentu akhirnya petani-petani tembakau akan terkena dampaknya. Walaupun kenaikan dimaksudkan untuk melakukan pengendalian konsumsi, tapi dari yang dipaparkan ternyata tidak signifikan.

“Kenaikan cukai itu tidak serta merta menurunkan konsumsi rokok dan itu didukung oleh beberapa hasil survei,” ujar Anis.

Anis turut meminta pemerintah memperhatikan peluang kemunculan rokok ilegal dampak dari kenaikan tarif cukai. Untuk itu, perlu roadmap transformasi tentang industri hasil tembakau agar mempermudah gambaran dalam mengambil keputusan.

Sebelumnya, Wakil Ketua DPR RI, Muhaimin Iskandar, turut meminta pemerintah untuk mempertimbangkan ulang keputusan menaikkan cukai rokok elektrik sebesar 15 persen selama lima tahun ke depan. Kenaikan dikeluhkan pengusaha rokok elektrik.

Sebab, dikhawatirkan akan berimbas kepada eksistensi usaha yang baru berkembang beberapa tahun terakhir, terlebih mayoritas industri ini merupakan pelaku UMKM. Ia berharap, ada perhatian dan perlindungan agar kebijakan tidak memberatkan.

Misal, cukai yang dikenakan tidak terlalu memberatkan seperti yang direncanakan. Muhaimin berharap, pemerintah melindungi pengusaha rokok elektrik dari gempuran investor asing, sehingga kontrol penting dilakukan demi menjaga eksistensi.

“Mereka merupakan penggerak ekonomi dan industri rumah tangga yang telah mendorong pengusaha baru yang tumbuh, termasuk petani tembakau masa mendatang. Karena itu, yang perlu dilakukan pemerintah adalah meningkatkan perlindungan,” kata Muhaimin.

Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) dan Forum Masyarakat Industri Rokok Seluruh Indonesia (Formasi) juga sudah meminta pemerintah untuk meninjau kembali kebijakan kenaikan cukai rokok pada 2023 dan 2024 rata rata sebesar 10 persen.

Hal ini tidak sejalan dengan kondisi ekonomi masyarakat masih berat akibat kenaikan bahan bakar minyak dan pandemi Covid 19 yang belum reda, serta ekonomi dunia akibat situasi politik global yang memanas.

Ketua Gaprindo Benny Wahyudi mengatakan, saat situasi seperti ini seharusnya ada kelonggaran dari pemerintah. Bukan justru semakin dipersulit dengan kenaikan cukai sebesar 10 persen.

 

“Sekiranya pemerintah sedang membutuhkan dana pembangunan, sehingga harus menaikan cukai, maka kenaikannya tidak lebih dari tujuh persen. Selain itu kenaikan cukai juga harus diikuti pemberantasan rokok ilegal,” ujarnya, Jumat (25/11/2022).(Sumber)