News  

KPK Bongkar Kasus Baru di MA: Suap Kasasi Pailit RS di Makassar, Nilainya Rp.3,7 Miliar

KPK kembali membongkar kasus baru di Mahkamah Agung. Kali ini terkait vonis kasasi pailit Yayasan Rumah Sakit.

Dalam kasus ini, KPK menjerat Edy Wibowo (Hakim Yustisial/Panitera Pengganti) sebagai tersangka penerima suap.
“KPK kembali menemukan adanya kecukupan alat bukti terkait dugaan perbuatan pidana lain dalam pengurusan perkara di MA. Langkah berikutnya yaitu KPK meningkatkan perkara ini ke tahap penyidikan dengan menetapkan dan mengumumkan Tersangka EW (Edy Wibowo, tidak dibacakan), Hakim Yustisial / Panitera Pengganti Mahkamah Agung,” kata Ketua KPK, Firli Bahuri, dalam konferensi pers, Senin (19/12).

Edy Wibowo diduga menerima suap pengaturan vonis kasasi. Diduga, ia melakukannya bersama Muhajir Habibie (PNS pada MA) dan Albasri (PNS pada MA).

Edy Wibowo langsung ditahan usai menjalani pemeriksaan. Muhajir dan Albasri sudah dijerat sebagai tersangka dalam perkara lain di MA. Keduanya pun telah ditahan.

Edy Wibowo bersama dengan Muhajir Habibie dan Albasri dijerat dengan Pasal 12 huruf c atau Pasal 12 huruf a dan b Jo Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.

Suap Pailit Yayasan Rumah Sakit

Kasus ini berawal adanya gugatan PKPU (Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang) ke Pengadilan Negeri Makassar pada Februari 2022. Pemohon ialah PT Mulya Husada Jaya, Termohon ialah Yayasan Rumah Sakit Sandi Karsa Makassar.

Isi gugatan tersebut ialah agar hakim menetapkan Yayasan RS Sandi Karsa Makassar dalam PKPU.

Dalam vonis yang dibacakan pada Mei 2022, hakim mengabulkannya. Hakim menyatakan Yayasan RS Sandi Karsa Makassar pailit.

Pihak yayasan kemudian mengajukan kasasi ke MA. Salah satu isi permohonannya agar Yayasan RS Sandi Karsa Makassar tidak dinyatakan pailit.

Pada Agustus 2022, Wahyudi Hardi selaku ketua yayasan diduga melakukan pendekatan dan komunikasi intens dengan Muhajir Habibie dan Albasri yang juga PNS MA. Keduanya diminta membantu dan memonitor serta mengawal proses kasasi agar dikabulkan.

“Diduga disertai adanya kesepakatan pemberian sejumlah uang,” ujar Firli.
Pemberian uang kemudian dilakukan. Termasuk kepada Edy Wibowo.

“Sebagai tanda jadi kesepakatan, diduga ada pemberian sejumlah uang secara bertahap hingga mencapai sekitar Rp 3,7 miliar kepada EW yang menjabat Hakim Yustisial sekaligus Panitera Pengganti MA yang diterima melalui MH dan AB sebagai perwakilan sekaligus orang kepercayaan,” papar Firli.

KPK menduga serah terima uang sudah dilakukan selama proses kasasi di MA. Diduga, pemberian uang itu ialah untuk mempengaruhi isi putusan agar kasasi dikabulkan.

“Setelah uang diberikan, maka putusan kasasi yang diinginkan Wahyudi Hardi dikabulkan dan isi putusan menyatakan Rumah Sakit SKM tidak dinyatakan pailit,” papar Firli.

Merujuk situs MA, putusan kasasi itu diketok pada 14 September 2022. Perkara tercatat dengan nomor 1262 K/Pdt.Sus-Pailit/2022.

Ketua Majelis kasasi itu ialah Takdir Rahmadi dengan hakim anggota Nurul Elmiyah dan Rahmi Mulyati. Sementara Panitera Pengganti ialah Edy Wibowo.

Belum ada pernyataan dari Yayasan RS Sandi Karsa Makassar maupun Wahyudi Hardi terkait kasus ini.
Daftar Panjang Suap Kasus di MA

Kasus ini menambah daftar panjang kasus dugaan suap di MA yang dibongkar KPK. Sudah ada 2 hakim agung yang dijerat KPK sebagai tersangka.

Berawal dari OTT KPK pada 21 September di Semarang dan Jakarta. KPK menduga terjadi transaksi suap pengurusan perkara di MA.

Lima PNS di MA kemudian dijerat sebagai tersangka penerima suap, yakni:
Elly Tri Pangestu (Hakim Yustisial/Panitera Pengganti Mahkamah Agung)
Desy Yustria (PNS pada Kepaniteraan Mahkamah Agung)
Muhajir Habibie (PNS pada Kepaniteraan Mahkamah Agung)
Nurmanto Akmal (PNS Mahkamah Agung)
Albasri (PNS Mahkamah Agung)

Pemberi suap ialah dua debitur koperasi dan dua pengacara yang jadi kuasa hukum pengajuan kasasi: Yosep Parera dan Eko Suparno selalu pengacara serta Heryanto Tanaka dan Ivan Dwi Kusuma Sujanto, Debitur Koperasi Simpan Pinjam Intidana.

Suap diduga terkait untuk mengatur putusan kasasi pailit koperasi tersebut. Dari pengembangan, KPK meyakini adanya keterlibatan Hakim Agung Sudrajad Dimyati sebagai penerima suap. Sudrajad langsung dijerat tersangka dan ditahan.

Pada saat OTT 21 September, bukti yang didapatkan KPK ialah SGD 205 ribu dan Rp 50 juta. Sementara suap terkait vonis kasasi Koperasi Intidana agar dinyatakan pailit diduga sebesar SGD 202 ribu atau sekitar Rp 2,2 miliar.

Hal itu yang mendasari dugaan adanya perkara suap lain di Mahkamah Agung. Sehingga KPK melakukan pengembangan.

Belakangan, ditemukan ada kasus lain yang masih terkait. Kasus ini diduga melibatkan Hakim Agung Gazalba Saleh.
Dalam kasusnya, Gazalba diduga menerima suap terkait pengurusan kasasi tindak pidana pemalsuan akta dengan terdakwa Budiman Gandi Suparman selaku pengurus Koperasi Intidana.

Budiman diperkarakan oleh Heryanto Tanaka selaku debitur koperasi yang menunjuk Yosep Parera dan Eko Suparno selaku pengacara.

Pengadilan Negeri Semarang menyatakan Budiman tidak terbukti bersalah dan divonis bebas. Jaksa kemudian mengajukan kasasi. Heryanto Tanaka dkk diduga memberikan suap untuk memastikan kasasi dikabulkan. Salah satunya kepada Gazalba.

Dalam putusan pada 5 April 2022, MA mengabulkan kasasi tersebut. Budiman dinyatakan bersalah dengan hukuman 5 tahun penjara. Merujuk situs MA, majelis kasasi itu ialah Sri Murwahyuni sebagai Ketua dan Gazalba Saleh serta Prim Haryadi sebagai anggota.

Kasus Gazalba Saleh ini diduga masih terkait dengan kasus Sudrajad Dimyati. Sebab, tersangka pemberi suap merupakan pihak yang sama.

Kini, ada kasus lain yang diungkap KPK. Belum ada penjelasan mengenai tersangka pihak pemberi suap dalam kasus ini.(Sumber)