News  

Kemenhub Bakal Bedakan Tarif KRL Orang Kaya dan Miskin, Bagaimana Sistemnya?

Kementerian Perhubungan (Kemenhub) berencana membedakan tarif Kereta Rel Listrik (KRL) untuk masyarakat miskin dan kaya. Adapun tarif KRL masih termasuk kewajiban pelayanan publik (public service obligation/PSO) atau objek subsidi pemerintah.

Berdasarkan catatan kumparan, selama ini tarif KRL yang diberlakukan sebesar 55 persen disubsidi oleh pemerintah, sementara 45 persen sisanya ditanggung oleh penumpang. Kemenhub memastikan penumpang yang mampu akan diberlakukan tarif yang berbeda.

Kemenhub mengalokasikan anggaran sebesar Rp 3,051 triliun untuk penyelenggaraan PSO kereta di tahun 2022 ini, salah satunya untuk kebutuhan operasional KRL Jabodetabek dan KRL Yogyakarta.

“Jadi yang sudah berdasi, berdasi bukan apa-apa ya, tapi kemampuan finansial tinggi musti bayar lain, yang (tarif) average sampai 2023 kami rencanakan tidak naik,” ungkap Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi saat Jumpa Pers Akhir Tahun 2022, Selasa (27/12).

Kebijakan Membedakan Tarif KRL Dinilai Tepat
Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan Masyarakat Transportasi Indonesia, Djoko Setijowarno, mengatakan rencana subsidi tepat guna tarif KRL sudah diungkapkan sejak lama. Hal ini adalah opsi lain daripada menaikkan tarif.

Djoko menilai, kebijakan tersebut sudah tepat karena subsidi KRL yang tidak tepat sasaran bisa dialihkan untuk pengembangan moda transportasi publik di daerah selain Jakarta, termasuk Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Bodetabek).

“Bisa dialihkan untuk subsidi kereta daerah atau angkutan umum di daerah sehingga ada unsur pemerataan,” ujarnya kepada kumparan, Rabu (28/12).

Dia memaparkan, pengurangan subsidi KRL bisa dengan menaikkan tarif bagi orang yang mampu, namun tetap tidak menghapus unsur subsidi di dalamnya. Hal tersebut untuk menjaga agar tidak beralih kembali ke kendaraan pribadi.

Selain itu, lanjut Djoko, pemerintah juga bisa membedakan pengenaan tarif untuk hari kerja dan akhir pekan (weekend). Menurut survei yang dilakukan pihaknya di tahun 2018, hanya 3-5 persen saja orang bekerja menggunakan KRL di akhir pekan.

“Katakanlah di akhir pekan dan hari libur itu sepertiganya dari 360 hari (setahun), artinya itu bisa mengurangi subsidi PSO sepertiga kan lumayan. Subsidi (KRL) kurang lebih setahun itu Rp 1,5 triliun, tetap diberikan hanya tidak sebesar dulu lagi,” jelasnya.

Djoko menambahkan, peralihan subsidi untuk moda transportasi lain di luar Jakarta sangat penting untuk meningkatkan konektivitas antara kawasan perumahan menuju stasiun, layaknya moda Trans Jakarta yang menurutnya sudah sangat baik.

“Subsidinya bisa dialihkan ke angkutan Bodetabek, supaya dari rumah tidak usah bawa kendaraan ke stasiun, cukup naik angkutan umum yang disubsidi, sudah bawa mobil parkir kan bayar juga di stasiun,” imbuh dia.

Bagaimana Penerapannya?
Menurut Djoko, cara membedakan tarif ini bisa merujuk pada data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS). Menurutnya e-KTP sekarang juga sudah cukup bisa digunakan untuk akses berbagai data termasuk untuk transportasi.

“Bisa juga, pakai itu (DTKS) bisa. Masyarakat miskin di Jakarta juga sudah ada yang penting ada basis data sudah mudah diakses juga lebih mudah dilakukan,” ujarnya.

“Yang jelas e-KTP kan sudah ada linknya ke mana pun tahu, jadi kalau basis data kemiskinan, nanti butuh mobilitas yang miskin. Enggak bisa mobilitas kan kasihan, bagaimana cara kerja,” sambungnya.

Sebelumnya, rencana subsidi tepat guna KRL sudah direncanakan Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) sejak tahun 2018 lalu. Dalam rencana tersebut, BPTJ mengajak PT Kereta Commuter Indonesia (KCI) dan Kementerian Sosial (Kemensos) untuk mengkaji.

“Ya itu kan biar tepat sasaran. Sekarang ini kebijakan itu masih dibahas internal BPTJ, apakah mau dijalankan atau tidak,” ucap Kepala BPTJ Bambang Prihartono kepada kumparan, Kamis (5/4/2018).

Di sisi lain, Direktur Jenderal Perkeretaapian Kemenhub pada saat itu, Zulfikri, menyatakan pihaknya belum akan menerapkan subsidi tepat sasaran lantaran menyadari pelayanan KRL masih belum maksimal. Waktu tunggu kereta tidak pasti dan sering tertunda.

“Kita tahun 2016 sudah melakukan kajian untuk subsidi tepat sasaran. Tapi kalau pelayanan KRL masih banyak delay-nya, ini kan enggak mungkin. Kita selesaikan dululah double-double track (DDT) ini,” ungkap Zulfikri kepada kumparan, Selasa (7/8/2018).(Sumber)