News  

Tolak Perppu Cipta Kerja, Buruh Siap-siap Aksi dan Judicial Review

Presiden Partai Buruh dan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal, menegaskan penolakan terhadap beberapa substansi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) UU Cipta Kerja (Ciptaker).

Meski demikian, dia memastikan pihak buruh lebih mendukung penerbitan Perppu Cipta Kerja sebagai kelanjutan dari perbaikan beleid tersebut setelah dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi (MK), daripada dibahas ulang oleh Badan Legislatif (Baleg) DPR RI.

Said Iqbal menjelaskan, pihaknya tidak mendapatkan salinan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 secara resmi melainkan telah beredar di media sosial. Dia pun menyandingkan sembilan poin isi Perppu tersebut dengan UU Ciptaker dan UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

“Sikap Partai Buruh, KSPI, dan organisasi serikat buruh menolak atau tidak setuju dengan isi Perppu setelah mempelajari, membaca, menelaah, mengkaji salinan Perppu No 2 Tahun 2022 yang beredar di media sosial,” ujarnya saat konferensi pers, Minggu (1/1).

Dia memaparkan beberapa poin yang dinilai tidak ada bedanya dengan UU Ciptaker dan merugikan kaum buruh. Pertama, pasal mengenai upah minimum dalam Perppu menggunakan istilah dapat ditetapkan oleh Gubernur, sama seperti isi UU Ciptaker.

Kemudian, beleid tersebut mencantumkan formula baru perhitungan upah minimum yakni berdasarkan inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan indikator tertentu. Formula ini berbeda dengan substansi UU Ciptaker maupun UU Ketenagakerjaan.

Said mempertanyakan perhitungan indeks tertentu tersebut yang pada dasarnya tidak diatur oleh International Labour Organization (ILO). Dia pun mendesak pemerintah hanya menghitung formula upah minimum cukup dengan inflasi dan pertumbuhan ekonomi saja.

“Pasal lain di Perppu kami tolak adalah Pasal 88, dalam keadaan tertentu pemerintah dapat menetapkan formula perhitungan upah minimum yang berbeda. Bagaimana sih? UU itu harus rigid tidak boleh ada pengecualian,” tegasnya.

Selanjutnya adalah peraturan mengenai outsourcing atau alih daya. Dia menyebutkan seluruh ketentuan dalam UU Ketenagakerjaan dihapuskan dalam UU Ciptaker, sehingga tidak ada batasan jenis pekerjaan yang boleh menggunakan outsourcing.

“Dalam Perppu tidak bedanya, cuma ada sedikit ruang dialog. Jadi Perppu tentang alih daya tetap boleh kesimpulannya, cuma nanti diatur dalam Peraturan Pemerintah alih daya yang boleh itu apa,” jelas Said.

Dia menambahkan, poin yang ditolak buruh adalah pasal mengenai pesangon yang sama sekali tidak berubah dari aturan UU Ciptaker. Kemudian, peraturan mengenai masa kerja dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yang tidak dibatasi waktunya.

“Terkait PHK, ini di Perppu juga tidak dibahas sama dengan UU Ciptaker kami tolak, harus kembali ke UU No 13 Tahun 2003, itu yang kami tidak setuju dengan Kemenko Perekonomian, easy hiring easy firing, memang ini negara liberal, ini negara Pancasila,” tutur Said.

Said melanjutkan aturan lain dalam Perppu yang dikritisi buruh adalah mengenai perizinan tenaga kerja asing (TKA), terutama untuk yang unskilled worker atau buruh kasar. Lalu, peraturan mengenai cuti dan pengaturan waktu kerja juga harus kembali ke UU Ketenagakerjaan.

Terakhir adalah pasal Bank Tanah di dalam Perppu yang juga tidak ada perubahan. “Kami tolak, karena merugikan petani dan pemilik tanah orang kecil. Bank Tanah diorientasikan untuk kepentingan korporasi besar, perkebunan sawit, dan sebagainya, seharusnya dikorelasikan dengan reforma agraria,” tambahnya.

Seiring dengan beberapa poin penolakan tersebut, pihak buruh akan mempertimbangkan langkah hukum dengan melakukan judicial review, serta langkah gerakan berupa aksi besar-besaran.

Di samping itu, Said juga mengungkap pihaknya akan melakukan lobi. Dia berharap perwakilan Partai Buruh dan serikat buruh bisa bertemu dengan Presiden Jokowi untuk memberikan masukan.

“Tentang kapan waktu pelaksanaan aksi dan gugatan terhadap Perppu kami akan diskusikan terlebih dahulu dengan elemen yang ada Partai Buruh,” pungkasnya.(Sumber)