News  

Di Bawah Daulat Oligarki

Meski terlihat berbeda, empat isu politik di akhir tahun 2022 yang mendapat perhatian kalangan pers dan pemerhati politik, yakni ditetapkannya Perppu Ciptaker pengganti UU Omnibus Law, bangkitnya lagi ide perpanjangan periode presiden (dan sejenisnya), kembali menguatnya ide sistem pemilu proporsional tertutup, dan diganggunya eksistensi Partai Ummat memiliki kesamaan. Keempat kasus itu mencerminkan bagaimana kuatnya kepentingan elite dan oligark.

Sebelumnya dapat disampaikan bahwa koridor penjelasan mengenai berbagai fenomena politik kekinian adalah cerminan dari “kemunduran demokrasi yang parah” dan “sepak terjang oligarki yang semakin menggurita”.

Kajian-kajian mengenai oligarki itu sendiri digawangi terutama oleh kajian-kajian strukturalis yang melihat konteks politik Indonesia saat ini dalam tinjuan ekonomi-politik, khususnya eksistensi penguasa ekonomi dalam kehidupan politik.
Kajian ini dibangun oleh para Indosianis seperti Vedi Hadiz, Richard Robison dan Jeffery Winters.

Secara teoritis kajian mereka ini melengkapi bahasan para Indosianis lain yang cenderung menggunakan perspektif pelembagaan (institusional), budaya, fungsional, aktor (kerap disebut sebagai agency), maupun sintesis dari beragam pendekatan itu, dalam menganalisis kehidupan politik Indonesia.

Kembali pada persoalan empat isu utama tutup tahun. Di sini oligarki dan kekuatan politik elitis adalah elemen-elemen yang layak untuk disoroti. Mereka melakukan manuver politik yang akhirnya tidak saja membingungkan dari sisi ketatanegaraan namun tentu saja sekali lagi menunjukan kedigdayaan mereka dalam memporak-porandakan sistem politik, khususnya demokrasi dan semangat reformasi.

Atas dasar kepentingan ekslusif mereka dilakukanlah manuver politik yang layak dimasukan dalam daftar changing continuities. Yakni sebuah manuver yang mencerminkan adanya kelanjutan hakekat kehidupan politik yang diformat, dikendalikan, ditujukan dan diabdikan demi kepentingan kaum elite (a’la Orde Baru), dengan modifikasi di sana-sini oleh para aktor politik saat ini (khas Era Reformasi). (Nordholt & Van Klinken 2007, Rahmawati 2018).

Pada kasus Perppu Ciptaker, tidak dapat dilepaskan dari kajian-kajian kritis yang terkait dengan undang-undang Omnibus Law yang pada dasarnya cenderung mengerucut pada sebuah kesimpulan bahwa kebijakan ini secara substansi tidak sepenuhnya sejalan dengan kepentingan masyarakat, tidak saja kalangan buruh, namun pula hingga kalangan masyarakat adat.

Kemudian proses pembuatan kebijakan yang terburu-buru mencerminkan watak pembuatan kebijakan yang elitis.
Dari berbagai sisi tersebut, jejak-jejak kepentingan elitis-oligarkis tidak dapat dinafikan. Hal ini mengingat bahwa masyarakat banyak merasa belum sutuhnya terwakili dalam proses pembuatan kebijakan itu.

Tanpa pelibatan partisipasi yang genuine dan menyeluruh dari publik atau kalangan masyarakat umum, tampak mengindikasikan adanya kekuatan besar non-publik di balik penyusunan dan penetapan kebijakannya. UU Ciptaker sendiri, sebelum diganti oleh perppu, disebut oleh akademisi Faisal Basri sebagai “Pro-Pengusaha” dan berpotensi membuat cengkraman oligarki menguat (bisnis.tempo.co, 15 Oktober 2020).

Belakangan muncul berbagai protes terhadap eksistensi Perppu Ciptaker yang menafikan pertimbangan-pertimbangan Mahkamah Konstitusi ketika memutuskan kebijakan ini memiliki tendensi inkonstitusional. Berbagai pihak bahkan mengatakan ini sebagai bentuk pelanggaran, bahkan “pembangkangan terhadap konstitusi” sebagaimana yang disampaikan oleh Koordinator Tim Kuasa Hukum Pengujian Formil UU 11/2020 Viktor S. Tandiasa (Hukumonline, 31 Desember 2022)

Sementara itu, kasus perpanjangan kekuasaan, dengan segenap variannya, mencerminkan masih kuatnya cara pandang “anti-demokrasi-konstitusional” dan anti-reformasi. Karena ide dasar dari wacana ini adalah bahwa pemilu (sebagai instrumen demokrasi) dan proses sukesi kepemimpinan justru dianggap sebagai “penyakit dari ketidakmajuan ekonomi” saat ini.

Maka remedi bagi persoalan ekonomi kita adalah memformat kehidupan politik sehingga mujarab untuk meningkatkan kapabilitas ekonomi. Sayangnya, logika Orde Baru dan Oligarki-lah yang dikemukakan, dimana jawabannya adalah “memperpanjang kekuasaan”.

Sekali lagi, dengan logika sederhana, dapat dimaklumi bahwa hanya mereka yang selama ini telah hidup nyaman saja dalam format kekuasaan saat ini yang tidak menginginkan adanya perubahan kekuasaan. Dan jika thesis para akademisi benar, dimana Indonesia saat ini ada dalam genggaman kalangan pemburu rente (oligarki), maka tentu saja pihak yang paling berkepentingan untuk tetap terjaganya kekuasaan adalah tak lain kalangan pemburu rente itu sendiri.

Sedangkan dalam konteks sistem proporsional tertutup, ide ini juga akan menguntungkan kelompok elite. Dengan sistem porposional terbuka, sejatinya masih ada peluang bahwa mereka yang masuk dalam parlemen adalah cerminan pilihan rakyat sebagai hasil membangun kedekatan dengan konstituen.

Dalam sistem terbuka, masih ada elemen pengimbang (meski tidak besar juga) dari mereka yang bergantung dengan pimpinan partai dengan mereka yang bergantung dengan konstituen.

Namun situasi akan berbeda sekali jika digunakan sistem proporsional tertutup, dimana penentu awal masuk tidaknya seorang caleg ke parlemen adalah daftar yang disahkan oleh elite partai (beserta kalangan oligark disekitarnya). Sebagai dampaknya, tidak akan ada lagi “intervensi konstituen” dalam turut menentukan raut wajah parlemen kita, baik di level lokal maupun nasional.

Sebagai hasil akhirnya tentu saja situasi demokrasi kita berpotensi menjadi semakin terancam oleh kekuatan elitis yang menggurita. Pada sistem terbuka saja nuansa demokrasi elitis sudah demikian terasa, apakah lagi jika menggunakan mekanisme tertutup.

Sedangkan untuk Partai Ummat, tampaknya sebagian elite penguasa ingin memaksakan keuntungan maksimalnya. Mereka ingin menguji peruntungan, apakah partai baru pimpinan tokoh kritis Amien Rais ini siap melawan atau tidak. Jika tidak siap, maka akan dilanjutkan sebagai partai pesakitan yang tidak lolos verifikasi.

Namun, jika berani melawan dan argumentatif partai ini akan diloloskan. Jadi ada nuansanya nothing to lose. Namun manuver penjegalan ini tetap diupayakan, karena politik pada akhirnya adalah juga seni memaksimalkan keuntungan dalam konteks mendapatkan dan mempertahankan (kenyamanan) kekuasaan.

Beberapa wacana yang berkembang di akhir tahun pada dasarnya sungguh memperihatinkan. Kesemua ini secara substansi akan menyeret kita menjadi lebih jauh dalam gengaman daulat oligarki.

Kondisi ini tampak beriringan dengan situasi ekonomi-politik kita yang tidak kondusif bagi penguatan demokrasi. Ivan Krastev (2017) mengatakan bahwa saat ini beberapa negara memang tidak menuju otoriterian, namun memunculkan “bentuk baru demokrasi” yang cenderung tidak demokratis. Indonesia saat ini tentu saja bukan pengecualian.

(Artikel ini dimuat di Koran Tempo, 2 Januari 2023)

Prof. Firman Noor, Peneliti Pusat Riset Politik BRIN