Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) di dalam negeri ternyata sudah mencapai jutaan orang. Demikian menurut Ketua Bidang Ketenagakerjaan Apindo Anton J Supit, mengutip data pencairan Jaminan Hari Tua (JHT) BPJS Ketenagakerjaan sepanjang Januari-November 2022.
“Soal PHK, tahun lalu, sampai November, jumlah buruh yang mencairkan JHT BPJS Ketenagakerjaan sudah mencapai 919 ribu orang dengan alasan PHK. Kalau ditambah alasan mengundurkan diri sudah 1,6 juta sekian,” kata Anton dalam Profit CNBC Indonesia, Kamis (12/1/2023).
“Supaya kita jangan tereliminir data yang sumir, kecil, dan lain-lain. Yang mengundurkan diri juga bisa-bisa PHK juga karena sering kali ditawarkan paket mengundurkan diri,” tambahnya.
Jumlah pencairan dana JHT BPJS Ketenagakerjaan itu, kata Anton, juga belum mencerminkan kondisi sebenarnya di lapangan. Pasalnya, kata dia, tidak semua buruh atau pekerja di Indonesia langsung mencairkan JHT usai di-PHK.
“Dan, nggak semua pekerja anggota BPJS Ketenagakerjaan. Itu clear,” katanya.
“Jadi, kalau data pencairan saja sudah 919 ribu orang lebih, saya yakin PHK sudah jauh lebih besar karena nggak semau pekerja mencairkan JHT,” ujar Anton.
Hal senada disampaikan Ketua Umum Asosiasi Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFi), Redma Gita Wirawasta.
“Kalau mau angka resmi, pasti PHK itu BPJS sih. Itu pasti. Karena kalau mencairkan BPJS Ketenagakerjaan itu harus pilihannya 2, mengundurkan diri atau dipecat. Itu sudah pasti. Kalau 900 ribu orang sudah cairkan, artinya ada PHK 900 ribu orang. Di tekstil itu mungkin sekitar 15-20%-nya,” kata Redma.
“Kalau kita yang ngomong dibilang mengada-ngada. Karena mereka kan lapor ke kami, mengurangi sekian-sekian. Dan, data di PBJS itu belum keseluruhan karena itu pekerja formal. Kalau bicara informal, IKM konveksi, tekstil, garmen, ()lebih banyak lagi. Itu kalau pemerintah mau kasih atensi,” tutur Redma.
Dia pun mengkritik sikap pemerintah yang dinilai masih lamban mengantisipasi gelombang PHK di dalam negeri.
“Sekarang ini sudah berimbas ke hulu. Mulai dari hilirnya, garmennya. Ini yang sebetulnya kita minta pemerintah cepat kasih obat. Untuk kondisi ini memang sudah kita teriak dari kuartal 3, kuartal 4 kemarin, sampai saat ini tidak ada action pemerintah yang clear, mau ngapain sih,” tukas Redma.
“Malah pemerintah sempat tutup mata, bilang nggak..nggak ada PHK, nggak ada yang tutup. Tapi kan kejadian di lapangan beda. Memang kejadiannnya seperti itu. Perlu action cepat dari pemerintah,” katanya.
Jika pemerintah masih saja lambat, ujarnya, gelombang pengurangan karyawan hingga pabrik tutup akan terus terjadi.
“Kalau terus-terusan begini bisa ambruk. Kami sudah sampaikan kemarin, kalau pemerintah terus nggak ngapa-ngapain, akan sampai 500 ribu (PHK di sektor tekstil dan produk tekstil/ TPT). Terus ada yang jual pabrik. Begitu terus-terus,” katanya.
“Memang kalau kita prediksi tahun 2023, kondisinya tergantung pemerintah,” katanya.(Sumber)