News  

Mengapa Sistem Pemilu Proporsional Tertutup

BELAKANGAN muncul perdebatan dalam dunia politik kita terkait dengan sistem pemilu yang sepatutnya digunakan pada Pemilu 2024, apakah sistem pemilu tertutup atau tetap terbuka.

Perdebatan ini muncul lagi ke permukaan setelah PDI Perjuangan mewacanakan hal tersebut ke publik dan kemudian direspons secara positif oleh Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Ashari.

Artikel ini dengan keterbatasan ruangnya mendiskusikan mengapa kita layak mempertimbangkan sistem pemilu tertutup ini, dan mengapa kita layak untuk meninggalkannya.

Bagian akhir artikel memberikan saran tentang sikap yang sepatutnya kita ambil terkait dengan sistem pemilu.

Mengapa Sistem ini Layak Dipertimbangkan?

 

Sistem proposional tertutup (sistem tertutup) memiliki kelebihan yakni lebih membuka peluang terpilihnya calon legislatif (caleg) perempuan. Dalam konteks Indonesia dengan keharusan 30% caleg perempuan, terbuka peluang dalam penyusunan daftar caleg nanti, ketua umum – biasanya atas anjuran kelompok/kaukus perempuan di partainya dan untuk meningkatkan citra sebagai “partai ramah perempuan” – menempatkan beberapa perempuan pada “nomor jadi” dan di daerah-daerah yang memang menjadi basis partai. D

alam situasi ini, peluang caleg perempuan terpilih menjadi lebih besar, ketimbang jika “diadu” dengan caleg laki-laki secara terbuka di satu daerah pemilihan, sebagaimana yang terjadi pada sistem terbuka.

Mengingat masyarakat kita pada umumnya masih berkencederungan memilih caleg laki-laki.

Hal yang sama juga dialami oleh caleg dari kalangan minoritas di suatu dapil. Caleg dari kalangan minoritas memiliki risiko tidak terpilih lebih besar di satu daerah jika menggunakan sistem proporsional terbuka (sistem terbuka).

Namun masih memiliki peluang cukup besar jika dia ada di nomor urut jadi dengan sistem tertutup.

Begitu juga sebenarnya untuk para kandidat potensial namun tidak cukup populer, mereka masih memiliki peluang masuk dalam parlemen jika menggunakan sistem tertutup.

Dengan kata lain, sistem tertutup memberikan peluang yang lebih besar bagi kalangan perempuan, minoritas dan mereka yang layak namun kurang populer.

Selain itu, sistem tertutup ini memberikan peluang yang lebih besar bagi partai, khususnya pimpinan partai, untuk melakukan kontrol dan disiplin yang lebih ketat kepada seluruh caleg.

Pimpinan partai dengan kewenangannya sebagai penentu akhir daftar caleg dapat lebih mudah mengarahkan dan memberikan sanksi kepada caleg, sehingga terbangun sebuah soliditas yang tinggi, karena caleg memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap pimpinan.

Sistem tertutup dengan demikian lebih menjamin kontrol dan soliditas partai

Mengapa Sistem ini Layak Ditinggalkan?

Salah satu hal mendasar yang menjadi kritik utama atas sistem tertutup adalah kurang menjamin terbangunnya kedekatan antara caleg dengan konstituennya.

Sistem ini cenderung kurang menjamin konstituen mengetahui latar belakang dan kapabilitas caleg yang akan mewakili mereka.

Sebaliknya, caleg pun bisa jadi tidak terlalu memahami orang-orang ataupun wilayah yang diwakilinya mengingat terbatasnya intensitas hubungan.

Bisa jadi dengan berbagai pertimbangan, ketua umum partai menempatkan seorang caleg di daerah yang “terasing” buat seorang caleg, dan juga buat para pemilih.

Dengan kata lain, hakikat saling mengenal dan membangun sebuah kontrak sosial dalam makna sebagai wakil rakyat tidak terbangun kokoh.

Padahal kedekatan itu adalah sayarat utama dari terlaksananya hakikat “perwakilan rakyat” yang merupakan sokoguru dari demokrasi dan esensi adanya pemilu itu sendiri.

Dalam sistem tertutup makna “perwakilan” menjadi ambigu, karena bisa jadi caleg lebih mewakili (kepentingan) partai ketimbang konsituennya.

Selain itu, sistem tertutup kurang mendorong atau “memaksa” caleg untuk membangun komunikasi yang intens kepada masyarakat di dapilnya, untuk dapat dikenal dan meyakinkan mereka agar terpilih.

Caleg cenderung kurang proaktif, karena akhirnya lebih memilih memastikan posisinya di hadapan pimpinan ketimbang di hadapan para pemilih.

Situasi ini tidak saja mengukuhkan situasi teralienasinya masyarakat dan wakilnya, namun juga terbengkalainya pelaksanaan fungsi-fungsi partai politik seperti komunikasi politik, sosialisasi politik hingga pendidikan politik.

Yang sebenarnya justru dapat dilakukan secara massif (oleh para celeg) pada masa kampanye, jika dilakukan dalam skema terbuka.

Hal yang juga tidak kalah pentingnya adalah bahwa pada akhirnya sistem tertutup tidak memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk melakukan “intervensi konstituen” dalam turut menentukan siapa anggota legislatif yang dipandang mereka sebagai sosok yang benar-benar dekat dan mewakili aspirasinya.

Karena terbuka peluang para kandidat yang disukai masyarakat itu tidak berada dalam nomor urut jadi yang disusun oleh pimpinan parpol.

Demokrasi, Keterasingan dan Money Politics Sistem pemilu pada dasarnya dapat menjadi sarana untuk mengokohkan substansi demokrasi, dan mereduksi keterasingan publik atas wakil rakyatnya.

Namun jika sistem yang dipilih salah, maka bisa jadi yang terjadi malah sebaliknya.

ari munculnya berbagai kebijakan yang dianggap tidak partisipatif dan substansinya tidak benar-benar dikehdenaki oleh rakyat.

Dalam beberapa tahun terakhir, misalnya, banyak kebijakan yang memicu demonstrasi besar-besaran dan upaya untuk melakukan judicial review.

Tidak mengherankan lembaga-lembaga pemerhati demokrasi (seperti Freedom House, V-Dem, IDEA atau Economist Intelligence Unit) dan sebagian besar para pengamat politik sampai pada sebuah kesimpulan yang sama mengenai situasi demokrasi yang masih jauh dari ideal, dan terjebak dalam gurita kekuasaan para elite.

Dalam situasi ini, sistem tertutup – yang cenderung membuat caleg bergantung pada pimpinan – akan cenderung memperburuk situasi elitis dalam kehidupan politik kita.

Tidak adanya peluang bagi “intervensi konstituen” akan menyebabkan para aleg yang terpilih benar-benar menjadi sosok pilihan ketua umum partai alias all chairman’s men/women.

Memang harus diakui sistem terbuka tidak menjamin dengan sendirinya suara rakyat akan didengar.

Terbukti bahwa apa yang terjadi selama beberapa tahun belakangan ini adalah juga hasil dilaksanakannya sistem terbuka.

Begitu juga dengan terjadinya money politics yang demikian akut.

Namun demikian, jelas, jawaban untuk membatasi atau mengurangi elitisme dalam kehidupan politik kita bukanlah justru mengembalikan sistem pemilu kita menjadi tertutup (kembali).

Namun memperbaiki segala kelemahan yang diakibatkan oleh variabel yang kompleks yang masih diidap oleh pelaksanaan sistem terbuka saat ini.

Adapun money politics yang terjadi di Indonesia adalah dampak dari banyak sekali variabel.

Sistem pemilu bisa saja menjadi salah satunya.

Namun bisa jadi juga, money politics yang terjadi pada saat pemilu hanya merupakan “puncak gunung es” dari berbagai penyebab-penyebab utama dari masih maraknya money politics, seperti soal mentalitet, kebiasaan (habit), kualitas pelembagaan papol, political leadership, aturan main, edukasi politik hingga pragmatisme dalam kehidupan politik kita.

Dengan demikian, perubahan sistem pemilu kepada sistem tertutup bukan jawaban bagi tetap maraknya money politics.

Mengingat akar persoalan dalam money politics demikian kompleks, dan masih maraknya money politics dalam pemilu sejatinya hanyalah dampak dari akar-akar persoalan yang tidak kunjung selesai itu.(Sumber)