News  

Sembilan Naga dan Pilpres Indonesia

Tak ada seorangpun yang meminta saya menulis soal ini. Pun siapa yang hendak saya tulis. Bagi saya, selain mencangkul di sawah dan menyiangi gulma di kebun, aktivitas menulis sama nilai tetirahnya. Seperti bermunajat ke hadirat Illahi Rabbi. Atau tirakat d keheningan.

Seorang penulis pasti menyadari, tanggungjawab terbesar atas tulisannya bukan kepada pembaca atau publik. Tulisan bukanlah ajang pertarungan berebut ruang publik (public sphere) seperti yang dikerangkakan kalangan penganut mazab kritis, seperti Jurgen Habermas.

Habermas menulis berdasar pengalaman Eropa, termasuk Perancis, dalam mencerna isi dunia dan persoalan sosial kemanusiaannya. Pikiran Michel Folcault terkait kegilaan dan peradaban, dibentuk dari ilmu jiwa, kedokteran, berikut spiral kekerasan yang melanda dunia Barat, bahkan sebelum Masehi. Banyak orang suci diberlakukan seperti orang gila, dibunuh dengan kejam, sebut saja nama dalam kepala anda.

Manakala berbicara tentang Sembilan Naga, anda akan dituntun mengenali nama Robert Budi Hartono, Rusdi Kirana, Sofjan Wanandi, Jacob Soetoyo, James Riady, Edward Suryadjaja, Tommy Winata, Anthony Salim, dan Dato’ Sri Tahir. Yang saya kenal pribadi: Sofyan Wanandi, Rusdi Kirana, dam Edward Suryadjaja. Tetapi dibanding Sofyan, jauh lebih tegak lurus hubungan saya sebagai peneliti muda hingga senior Centre for Strategic and International Studies (CSIS) dengan Jusuf Wanandi.

Tapi, dibanding hubungan dengan Jusuf, jauh lebih kontraktual hubungan saya dengan Harry Tjan Silalahi sebagai scholar. Dialog dengan Jusuf sangat cair dan lebih banyak berbahasa Minang, ketimbang Indonesia atau Inggris. Bahkan, saya bisa menolag sarannya dengan ‘sengak’. Hanya dua orang yang bisa marah kepada saya, ketika berperilaku diluar seorang scholar: Harry Tjan Silalahi dan Clara Juwono. Atau, Kepala Personalia, Asnani Usman, berhubung seringnya saya tak masuk kantor.

Yang paling sering mengoreksi tulisan saya, kata per kata, anak kalimat, hingga kalimat, adalah Daoed Joesoef. Yang melatih saya dengan sangat humble, Tommy Legowo dan Hadi Soesastro.

Tentu, guna kepentingan tulisan ini, saya tak menulis ‘Pak’, ‘Ibu’, ‘Mbak’, atau ‘Almarhum’ dan ‘Almarhumah’. Saya menganggap mereka adalah energi nalar ajar terusan budi yang tak pernah mampu dimusnahkan siapapun dan apapun. Abadi. Hanya bisa dialihkan.

Sebanyak orang bercerita tentang sembilan naga, sebanyak itu pula saya melihat, mendengar, dan menyaksikan para penentangnya. Ketika Fauzi Bowo muncul sebagai Calon Gubernur DKI Jakarta, saya dan istri sengaja memilih Adang Dorodjatun, satu menit di kotak suara. Padahal, saya dan istri sudah sepakat untuk memberikan suara kepada Fauzi yang notabene adalah ‘menantu CSIS’.

“Kamu pilih siapa?” tanya saya kepada istri, alumnus Ilmu Kimia Universitas Indonesia.

“Adang. Udo?” tanyanya.

“Lho, kok sama? Kenapa kamu pilih Adang?”

“Kasihan aja,” kata istri saya, sambil membuat argumen pemisalan.

“Bagiku, Fauzi sudah pasti menang, menurut banyak survei. Dan memberikan suara kepada Adang adalah bagian dari kontrol atas Fauzi, supaya tidak menang mayoritas. Apalagi pemilih Jakarta dikenal sebagai pemilih galau, tetapi kritis,” jawab saya, sebagaimana tugas saya juga sebagai analis. Sering, aku memberikan analisis politik berdasar sudut pandang istri, tinggal diberikan catatan kaki dari buku-buku.

Lalu, apakah Sembilan Naga itu benar-benar memagut, menggulung, dan menelan rakyat jelata Indonesia?

Sungguh, saya tak punya cukup alat bukti.

Ketika menjadi tim sukses Jokowi-Jusuf Kalla, saya meminta logistik ke Sofyan Wanandi. Alasan saya, Charles Honoris sudah mengirimkan 20.000 kaos ke Kota Pariaman yang diterima Relawan Nangkodo baha Institute di Kota Pariaman. Kaos sebanyak itu tak mungkin tersebar, kalau tak ada yang menyebarkan.

Sofyan memanggil saya ke rumahnya, di belakang Sarinah itu. Kalkulator langsung diambil, satu kaos diongkosi Rp. 10.000,- untuk sampai ke warga. Uang Rp. 200 Juta saya terima langsung. Saya masuk Kota Pariaman bersama Nasliwandi alias Iwan Piliang. Saya tidak tahu dan tidak tanya, Iwan dapat ongkos dari siapa. Kami berdua tampil dalam kampanye terbuka, siaran radio, hingga duduk di lapau-lapau. Kami dicaci maki, dituduh murtad, bisa jadi nama emak kami ikut disebut. Diludahi.

Dan karena alasan itu pula, ketika menjadi Panglima Sang Gerilyawan Jokowi untuk periode kedua, saya tak mau pulang kampung. Begitu juga, saya tak minta duit atau logistik kepada siapapun. Sang Gerilyawan Jokowi sangat mandiri, iuran anggota. Tak pernah ikut terlibat dalam pengerahan massa, apalagi menerima atau mengambil amplop untuk tujuan itu.

Saya dan para anggota Sang Gerilyawan Jokowi sudah banyak belajar, terutama dalam Pilpres 2014 dan Pilgub DKI Jakarta 2017. Apalagi, anggota Sang Gerilyawan Jokowi yang kini menjadi organisasi kemasyarakatan yang berbadan hukum dengan nama Perhimpunan Sang Gerilyawan Nusantara, sudah banyak saling berhadapan dalam momentum pilpres, pemilu, atau pilgub sebelumnya.

Sampai kini, saya bahkan belum mengurus rekening organisasi. Walau, banyak anggota Sang Gerilyawan Nusantara yang punya jabatan mentereng. Hanya segelintir yang tak mau ikutan, termasuk menjadi komisaris Badan Usaha Milik Negara.

Ketika isu Sembilan Naga kembali naik ke permukaan dalam momentum Pilpres sekarang, saya memandang ke langit.

Kenapa naga itu berjumlah sembilan?

Yang saya ingat, bintang kejora adalah bintang yang bersinar paling terang di galaksi yang jauh sana. Kalau bulan tak sedang terik sinarnya, coba hitung jumlah bintang yang paling dekat dengan bintang kejora itu. Ternyata, sembilan. Syaratnya satu, jangan hitung bintang yang ke sepuluh.

Saya sudah bertungkus lumus dengan banyak sekali pemilu, pilkada, hingga konsultan politik. Jauh lebih banyak uang yang dengan mudah bisa didapat, ketika kontestasi terjadi di Kalimantan, Sumatera Selatan, Maluku Utara, atau Riau. Jarang ada transaksi dalam bentuk rupiah. Rata-rata dollar, itupun dollar Amerika Serikat. Sesuatu yang jarang saya lihat di Jakarta.

Perhitungan di Jakarta, bahkan yang didapat di meja nama-nama yang masuk daftar Sembilan Naga, adalah kalkulator tadi. Rasional. Kalkulatif. Matematis. Tak ada yang namanya ‘uang operasional’, apalagi ‘succes fee’, atau yang lebih busuk seperti money politics. Politik adalah manajemen, terukur. Setajir apapun mereka. Betrilyun pun laporan kekayaan mereka.

Bagi saya, ketika mereka menjadi naga, lalu masuk klub Sembilan Naga, itu berarti ada sekian ribu atau ratus ribu orang yang merupakan “debu bintang” di angkasa yang bekerja di garis edar yang mereka lewati, atau di tempat mereka berpendar. Mereka memberikan bagian dari pantulan sinar matahari ke tubuh mereka, kepada bintang-bintang yang lebih kecil, bahkan jauh lebih banyak yang tak bisa dilihat dengan mata kepala biasa.

Sembilan Naga hanya cahaya di langit. Tak bisa membentuk bayangan, ketika cahaya itu sampai di bumi, dan menyentuh tubuh manusia. Bayangan manusia, tak ada yang seperti naga, walau banyak yang ingin.

Pilpres, adalah masalah manusia. Bukan semburan api dari mulut naga…

Oleh Indra J Piliang
Inisiator Korsa Airlangga Hartarto

Markas Gerilyawan, Kemayoran, 1 Februari 2023.

#AirlanggaHartarto #AhmedZakiIskandar #JakartaX #SuburPohonnya #KuatAkarnya #LebatBuahnya #TinggiGizinya