News  

ICW: Rezim Jokowi Bakal Dicatat Terburuk Urusan Pemberantasan Korupsi

Indonesia Corruption Watch (ICW) mengatakan, rezim Presiden Joko Widodo akan dicatat sebagai pemerintahan paling buruk pasca reformasi dalam pemberantasan korupsi.

Sebab kondisi carut marut pemberantasan korupsi, tidak lepas dari timpang dan paradoksnya ucapan Presiden Jokowi.

Demikian peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam keterangan tertulisnya kepada KOMPAS TV, Rabu (1/2/2023).

“Mencermati IPK Indonesia, dapat disimpulkan bahwa untaian kalimat Presiden terkait pemberantasan korupsi hanya sekadar pemanis pidato semata,” kata Kurnia Ramadhan.

“Rezim Presiden Joko Widodo juga akan dicatat sebagai pemerintahan paling buruk pasca reformasi dalam konteks pemberantasan korupsi. Selain itu, jelang pergantian kekuasaan tahun 2024, Presiden juga gagal mewariskan kebijakan antikorupsi yang baik.”

Tidak hanya itu, Kurnia pun menuturkan jelang tahun politik, permasalahan mengenai praktik korupsi dan sikap koruptif sejumlah pihak juga tak akan dituntaskan oleh pemerintah.

 

Misalnya, potensi maraknya politik uang mendekati masa kampanye dan pemungutan suara.

“Problematika yang tampak dalam UU Pemilu seperti pembatasan subjek hukum pelaku politik uang juga tidak diperluas oleh pembentuk regulasi. Selain itu, penegakan integritas pemilu melalui penyelenggara pemilu yang independen justru dinodai pemerintah karena proses seleksinya bermasalah,” kata Kurnia.

“Hal lain lagi menyangkut pendanaan partai politik yang disinyalir turut menerima aliran dari peristiwa kejahatan, sebagaimana diungkapkan oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan beberapa waktu lalu.”

Bahkan, kata Kurnia, satu isu mencolok yang juga diuraikan oleh TII adalah pembiaran pemerintah terhadap situasi konflik kepentingan. Permasalahan ini kian tampak dalam beberapa kesempatan, satu diantaranya saat Presiden membiarkan anggota kabinetnya maju sebagai kontestan politik tanpa harus mengundurkan diri terlebih dahulu.

“Ada potensi konflik kepentingan di sana, terutama pemisahan pekerjaan sebagai menteri dengan kepentingan politik untuk meraup suara masyarakat. Bukan tidak mungkin praktik penyalahgunaan kewenangan semakin marak terjadi dan faktanya Presiden membiarkannya,” ujar Kurnia.

“Apabila kita mengamini bahwa konflik kepentingan merupakan pintu masuk korupsi, perkara ini seharusnya ditanggapi dengan serius. Apalagi klaim yang kerap diutarakan pemerintah dalam memberantas korupsi adalah hendak lebih fokus pada aspek pencegahan.”

Pada bagian lain, lanjut Kurnia, partisipasi masyarakat dalam berbagai proses penyelenggaraan pemerintahan kian dipersempit.

Padahal, sejumlah regulasi mewajibkan pemerintah untuk menempatkan masukan masyarakat sebagai pertimbangan utama sebelum melahirkan suatu kebijakan.

“Bahkan, MK menghasilkan gagasan meaningful participation yang ditujukan kepada pembentuk UU. Sayangnya, bukan diakomodir, partisipasi itu malah dijawab dengan kriminalisasi dan intimidasi dalam bentuk beragam oleh kelompok tertentu,” ujar Kurnia.(Sumber)