AK, guru salah satu SMA Negeri di Kota Tidore Kepulauan, Maluku Utara, dirundung gelisah. Ia dilema dengan urusan kenaikan pangkat.
Sarjana ilmu keguruan salah satu kampus ternama di Kota Ternate itu, saat ini berpangkat III a. Rencanannya, di tahun ini diusulkan naik ke III b.
“Tapi ada patokan harga. Terpaksa saya tunda dulu kalau urusannya sudah begitu,” keluh AK kepada cermat, pada Kamis (9/2).
Dalam pengusulan pangkat, seorang guru wajib membuat daftar usulan penetapan angka kredit (DUPAK), rencana program pembelajaran (RPP), penelitian tindakan kelas (PTK), serta beberapa syarat lainnya.
Tapi syarat tersebut kerap dicoret atau ditolak oleh tim penilai angka kredit, terutama DUPAK dan PTK. “Seharusnya mereka jelaskan ke kami. Ini kan tidak pernah,” kata AK.
Para guru pun dibuat bolak-balik ke Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Malut yang berada di Sofifi, Kecamatan Oba Utara, 40 menit dari Pulau Tidore melalui jalur laut.
Itu berarti, AK–dan guru lainnya–yang tinggal dan mengajar di Tidore, harus merogoh saku lagi untuk mengurus perihal kepangkatan. “Sampai pada akhirnya kami harus bayar,” katanya.
AK mengungkapkan, golongan III a ke III b dibanderol Rp 2 juta. Sedangkan III d ke IV a sebesar Rp 5 juta. Alasan AK menolak bayar karena jalurnya tidak seperti itu.
Pangkat Guru di Tangan Makelar
Dalam praktik ini, ada seorang yang diduga bertindak sebagai makelar. Pria tersebut akrab disapa Pak Minggu. “Banyak guru senior yang sampaikan ke saya, kalau mau urus bisa lewat dia.”
Keterangan AK dibuktikan dengan potongan percakapan antara Minggu dengan guru salah satu SMA di Tidore, yang hendak mengurus kenaikan pangkat lewat WhatsApp.
Dalam percakapan itu, Minggu memandu langsung para guru. Berkas seperti ijazah serta beberapa syarat lainnya langsung dikirm ke nomor WhatsApp Minggu. “PTK nanti mereka yang atur,” ungkap AK.
Lalu siapa Minggu? Penelusuran cermat, Minggu saat ini menjabat sebagai Koordinator Pengawas SMA/SMK di Disdikbud Malut.
Dengan praktik seperti itu, beberapa guru di tempat AK mengajar terpaksa menunda urusan kenaikan pangkat dari golongan III d ke IV a. “Karena harus bayar Rp 5 juta sampai Rp 7 juta,” ungkapnya.
Menurutnya, praktik seperti ini sudah lazim. Tak jarang ada guru yang bersikap oportunis. “Mereka berpikir lebih baik bayar saja, daripada dibuat bolak-balik Tidore-Sofifi,” ujarnya.
Pada prinsipnya, sambung AK, guru yang mengusulkan kenaikan pangkat semata-mata untuk meningkatkan prestasi, juga kesejahteraan. “Meski pun hanya Rp 100 ribu,” ujarnya.
Salah satu guru SMA di Tidore yang menolak namanya ditulis, kepada cermat, menuturkan rata-rata pangkat guru di tempatnya mengajar mentok di III c.
Untuk sampai ke golongan III d atau IV b sangat minim. Ironisnya, sebagian guru mengira praktik ini adalah bagian dari aturan. “Jadi mereka bayar saja karena pikir ini sudah aturan,” ungkapnya.
Salah satu guru SMKN di Oba, Tidore, kepada cermat Sabtu (11/2), mengatakan tahun ini, Ia sudah harus mengusulkan naik ke golongan III d. “Tapi diminta bayar Rp 4 juta,” katanya(Guru)