Pemerintah telah menetapkan Visi Indonesia 2045, yang menetapkan agar negara kita menjadi negara yang berdaulat, maju, adil, dan makmur pada peringatan 100 tahun kemerdekaan Republik Indonesia dari kolonialisme.
Namun, Visi 2045 tidak hanya sebatas pada pembangunan saja dan untuk mewujudkan cita-cita tersebut terdapat pula tantangan besar di depan mata yang sudah dirasakan dampaknya sejak sekarang, yakni pemanasan global (global warming).
Topik ini dibahas dalam sesi panel diskusi Rembuk Kebangsaan untuk Iklim sebagai rangkaian acara Indonesia Net-Zero Summit 2023 yang digelar FPCI di Djakarta Theatre, Jakarta Pusat, pada Sabtu (24/6).
Panel diskusi itu dihadiri oleh para pejabat tinggi Indonesia yang memiliki kepedulian terhadap iklim dan lingkungan, antara lain Ketua KPU Hasyim Asy’ari; Menko Perekonomian Airlangga Hartarto; Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY); dan Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto.
Eks diplomat sekaligus Pendiri Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) Dino Patti Djalal berperan sebagai moderator dalam sesi panel diskusi berdurasi sekitar 60 menit ini.
Dino mengatakan, terlepas dari manfaat besar bonus demografi yang diprediksi akan dimiliki Indonesia pada periode 2045, suhu udara di bumi pada 30 tahun ke depan diprediksi akan meningkat dari 3 hingga 4 derajat Celsius lebih panas — fenomena yang pertama kalinya terjadi dalam sejarah peradaban manusia.
Kondisi tersebut tentunya akan sangat berdampak pada kehidupan manusia di bumi, terutama negara berkembang. Dalam hal ini, Indonesia yang berpopulasi lebih dari 270 juta jiwa kemungkinan akan turut terancam.
Airlangga, pada gilirannya, mengungkapkan sejumlah strategi yang sudah dilakukan pemerintah dalam memitigasi hal ini. Pria lulusan engineering ini mengungkapkan kemajuan teknologi bisa dijadikan sebagai solusi.
“Ini saya percaya teknologi bisa menyelesaikan masalah karena selama teknologi itu diadakan untuk kesejahteraan masyarakat. Saya adalah seorang engineer, itu lah mengapa saya percaya teknologi,” ujarnya.
Airlangga menyinggung soal program terbarukan, seperti ekonomi hijau (green economy) dan komitmen terhadap Net Zero Emission pada 2060 guna mendorong adanya sustainability.
“Tentu kita akan dorong green economy. Dan Indonesia sudah commit, 2060 Indonesia Net Zero Emission. Ke depannya, dalam 10 tahun kita akan kembangkan tentunya energi berbasis hijau,” kata Ketum Golkar itu.
Terlepas dari itu, Airlangga juga menyinggung perihal pentingnya ketahanan pangan dan mensejahterakan masyarakat terlebih dahulu, sebelum mengedukasi soal climate crisis.
Upaya ini, menurut Airlangga, dapat diwujudkan melalui teknologi penciptaan lumbung pangan baru (food estate). Adapun mewujudkannya juga memiliki tantangan tersendiri.
“Pemerintah commit untuk membangun food estate. Karena kita tidak ingin dengan climate change – dengan nanti La Nina, dengan kekeringan, kita tidak punya pangan,” kata Airlangga.
“Negara maju, perut harus kenyang. Jika ingin negara maju, kita harus siapkan pangan untuk bangsa sendiri dan ini menjadi tantangan kita,” jelasnya.
Menanggapi Airlangga, AHY pada gilirannya berpendapat untuk terlebih dahulu mensejahterakan rakyat. Karena, kata AHY, masyarakat tidak bisa diharapkan untuk memiliki rasionalitas yang serupa.
“Itulah mengapa kita penting membangun literasi. Kan banyak yang mengatakan, jangankan kita harus transisi pada energi terbarukan, atau harus berperilaku secara lebih baik untuk lingkungan hidup kita,” ujar AHY.
Menurut AHY, yang menjadi permasalahan itu adalah akses bagi masyarakat untuk bisa memperoleh makanan. “Kita lapar. Maka kita harus yakinkan masyarakat kita memiliki kesejahteraan yang cukup sehingga mereka punya kesadaran dan kepedulian untuk urusan-urusan lain, termasuk climate crisis ini,” kata Ketum Demokrat itu.
“Karena kalau tidak, menjadi tidak etis kita. Politisi misalnya, berbicara di depan mereka yang miskin termarjinalkan, koar-koar bicara lingkungan. Sedangkan kita tidak bisa memenuhi kesejahteraannya,” tegas dia.
Ketika kesejahteraan tersebut terwujud, menurut AHY, maka yang diperlukan berikutnya adalah persatuan dan semangat yang sama dari seluruh bangsa di dunia untuk berpartisipasi dalam menghadapi climate crisis, mengesampingkan national interest masing-masing negara.
AHY berharap agar transisi ekonomi dan karbonisasi yang digencarkan pemerintah bisa semakin agresif dan progresif. Namun juga dibarengi dengan membangun kesadaran masyarakat untuk terlibat dalam misi tersebut.
“Dan bukankah kita harus sangat ambisius untuk bumi kita? Tidak ada bumi kedua. Sejauh, sehebat-hebatnya teknologi, tidak bisa menciptakan bumi kedua,” jelasnya.
“Jangan sampai perilaku orang kaya, yang menanggung bebannya adalah orang miskin. Karena kita tidak adil rasanya seperti itu, tidak boleh negara-negara yang lebih dulu maju, kemudian yang menanggung bebannya adalah negara-negara berkembang. Kita punya hak untuk maju, untuk tumbuh, sejahtera,” tegas AHY.(Sumber)