News  

Apartemen BTL Bandung Mangkrak, Ratusan Pensiunan Hingga Karyawan Telkom Jadi Korban

Pembangunan hunian apartemen Bandung Technoplex Living (BTL) yang berlokasi di depan Kampus Telkom University, Kabupaten Bandung, mangkrak. Akibatnya, ratusan konsumen yang telah membeli unit apartemen tersebut terancam merugi karena pihak pengembang, PT Multi Karya Utama Abadi (MKUA), tak kunjung menyerahkan unit sejak tahun 2019.

Toni Agusman, yang pernah menjabat General Manager di Telkom Bandung, merupakan salah seorang korban. Toni yang juga Ketua Paguyuban Konsumen apartemen BTL, mengatakan ada 1.200 unit apartemen yang sudah terjual. Dari angka tersebut, sekitar 200-an unit apartemen dibeli oleh pensiunan, pejabat, ataupun karyawan aktif di Telkom.

“Jumlah pensiunan ataupun karyawan Telkom itu ada sekitar 106 orang dari 1.200 unit yang terjual. Seratus enam orang ini ada yang punya dua sampai tiga unit, sehingga rata-rata bisa dihitung sekitar di atas 200-an itu adalah milik karyawan Telkom,” kata Toni ketika ditemui di Kota Bandung pada Kamis (6/7).

Menurut Toni, para pensiunan ataupun karyawan aktif Telkom memutuskan membeli unit apartemen BTL karena tergiur lokasinya yang strategis dan peluang mengembangkan bisnis properti. Pengembang bahkan sempat menjanjikan konsumen bakal balik modal dalam waktu singkat, apabila membeli unit apartemen tersebut.

Selain itu, embel-embel Telkom yang digunakan oleh pengembang ketika menawarkan unit apartemen, juga menjadi semacam jaminan legalitas sehingga membuat mereka tertarik untuk membeli. Hingga saat ini, tercatat sudah ada 700 konsumen yang telah melunasi biaya pembelian secara dicicil ataupun tunai.

“Mereka mengatasnamakan dan ada logo Telkom di dalamnya, jadi ada Telkom University, ada Yayasan Pendidikan Telkom. Sehingga itu yang menarik minat banyak orang untuk membeli unit apartemen,” ucap dia.

Apabila dihitung, total dana yang diperoleh pengembang dari pembayaran unit apartemen mencapai Rp 360 miliar. Namun, hingga kini, belum jelas ada di mana uang tersebut sebab unit apartemen serta permintaan uang refund tak kunjung diserahkan oleh pengembang.

“Kemarin sudah diestimasikan kalau harga unit itu rata-rata Rp 300-an juta dan dari 1.200 unit yang sudah terjual, itu estimasi duit yang terkumpul sekitar Rp 360 miliar,” ujar dia.

Kini, menurut Toni, perkara antara para konsumen dan pengembang sedang berproses di PN Jakarta Pusat melalui proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Namun, dari tiga kali sidang yang sudah berjalan, belum ditemukan titik temu antara pihak pengembang dan konsumen.

“Sampai sekarang tiga kali sidang itu proposal damai yang disampaikan MKUA itu sangat mengecewakan,” kata dia.
Adapun sebagian besar konsumen, kata Toni, masih berharap pembangunan apartemen itu dapat tetap dilanjutkan karena peluang bisnisnya yang begitu besar. Apartemen itu dapat dijadikan alternatif oleh mahasiswa Telkom University.

“Dengan adanya apartemen ini bisa memberikan solusi (tempat tinggal) bagi mahasiswa yang ada di Telkom University. Marketnya seksi,” ujar Toni.

Di lokasi yang sama, seorang konsumen yang juga pengusaha di bidang properti berinisial BP, bercerita soal awal mula dirinya tertarik membeli unit apartemen itu. Dia mengaku pertama kali menerima informasi soal unit apartemen itu pada tahun 2016, ketika sedang berada di salah satu mal di Bandung.

Ketika itu, MKUA sedang melakukan promosi unit apartemen dan memberikan promo bakal mendapatkan fasilitas fully furnished apabila konsumen membeli saat pameran. Setelah menimbang, dia memutuskan membeli dan membayarkan uang muka sebagai tanda kesepakatan.

“Waktu itu ada promo fully furnished terus dapat AC, terus ada beberapa lah ya. Makanya saya tertarik untuk bisa ditindaklanjuti lebih detil lagi,” ungkap dia.

BP mengaku tergiur membeli karena lokasi apartemen strategis dan dapat mendulang untung apabila nantinya disewakan. Dia juga tak perlu berpikir soal pemasaran sewa unit apartemen karena segmen pasarnya sudah jelas, yakni mahasiswa Telkom University.

Selang beberapa pekan setelah membayar uang muka, BP kemudian mulai mencicil selama tiga tahun. Pada tahun 2019, cicilannya sudah lunas. Pihak pengembang berjanji bakal segera menyerahkan unit pada bulan Juli 2019. Ditaksir, uang yang telah dikeluarkan mencapai lebih dari Rp 200 juta.

“Lunas tuh bulan Februari 2019, jauh sebelum jatuh temponya (serah terima di bulan Juli) saya udah beres gitu,” kata dia.

Namun, tiba-tiba pihak pengembang memberi informasi bahwa unit apartemen batal diserahkan. Dia kemudian mencari informasi dan meminta refund, sebab dalam akta perjanjian terdapat poin bahwa refund dapat diajukan oleh konsumen. Namun, permintaannya ditolak pihak pengembang dengan berbagai dalih.

Dikarenakan tak kunjung ada kejelasan, BP akhirnya menggugat secara perdata pihak pengembang ke PN Bale Bandung. Di pengadilan, dia tak menyewa jasa pengacara dan menghadapi seorang diri pihak pengembang. Kemenangan pun diperolehnya di PN Bale Bandung dan PT Bandung.

“Alhamdulillah menang, sampai sekarang tahapannya itu dari 2022 Maret itu sampai putusan terakhir Pengadilan Tinggi Bandung bulan Oktober 2022,” kata dia.

Kini, menurut BP, kasusnya sedang berada di MA karena MKUA terus mengajukan banding atas putusan di PN Bale Bandung dan Pengadilan Tinggi Bandung. Menurut dia, putusan dari MA bakal dijadikan landasan untuk dapat mengembalikan uangnya senilai ratusan juta.

“Saya menunggu dulu nih proses hukum yang masih berjalan dari MA putusannya seperti apa dan itu yang akan saya proses nanti untuk bisa jadi tumpuan ke depannya,” kata dia.

Cerita lainnya disampaikan mantan pensiunan pejabat bank swasta terkemuka di Indonesia berinisial DM. Dia bercerita pembelian unit apartemen tersebut bermula pada tahun 2017 atau saat dirinya baru saja menerima uang pensiun dini. Sama dengan BP, dia juga menerima informasi soal pembangunan apartemen itu dari sebuah pameran yang diadakan di mal.

DM mengaku tergiur membeli unit apartemen itu, sebab selain letaknya yang strategis dan potensi bisnis yang menggiurkan, juga legalitasnya yang dianggap terjamin karena menyematkan embel-embel Telkom.

Dia juga sempat mengecek terlebih dulu ke lokasi dan melihat proses pembangunan sedang berlangsung. Dia lalu membeli satu unit apartemen secara tunai senilai Rp 203,5 juta.
“Saya beli lunas, gak cicil,” ujar dia.

Namun, tiba-tiba pada tahun 2019 ada kabar dari pihak pengembang penyerahan unit tidak dapat dilakukan karena ada kendala. Dia kemudian bertemu pengembang dan meminta mereka membayar kompensasi keterlambatan penyerahan unit sebagaimana tertera dalam akta perjanjian.

MKUA kemudian sepakat membayar kompensasi keterlambatan senilai Rp 5 juta tiap bulannya. Namun, baru tiga bulan berjalan atau tepatnya saat COVID-19 merebak, proses pembayaran mandek. Dengan begitu, total dia hanya menerima uang senilai Rp 15 juta dari pengembang sebagai kompensasi.

Berbeda dengan BP, DM mengaku tak melakukan upaya apapun seperti gugatan ke pengadilan. Sebab, menurut dia, pengurusan proses hukum bakal memakan lagi biaya. Dia hanya bersikap pasrah dan berharap ada kabar baik dari pengembang.

“Berserah aja menunggu mudah-mudahan ada (kabar) yang positif,” ungkap dia.
Selang beberapa waktu kemudian, benar saja, kabar soal PKPU tersiar. Dia pun bergabung bersama konsumen lainnya menuntut hak yang belum terlaksana. Dia mengaku enggan refund dan lebih memilih agar proses pembangunan apartemen terus berlanjut.

“Kalau saya pribadi saya gak mau refund karena rugi, saya kan beli 2017 itu Rp 200 juta, kalau saya sekarang terima lagi Rp 200 juta ya rugi berapa tahun. Kalau mau diganti, ya diganti dengan harga sekarang berapa nilainya,” kata dia.

Konsumen lainnya yakni EC juga bercerita soal awal mula tertarik membeli unit apartemen. Dia mengaku pertama kali menerima informasi soal apartemen itu ketika sedang berada di salah satu mal di Bandung pada tahun 2018. Dia tergiur untuk membeli unit apartemen itu karena merasa legalitasnya terjamin dan berpotensi jadi ladang bisnis apabila disewakan.

“Dia (pengembang) juga kasih untuk simulasinya setelah 30 tahun itu nanti keuntungannya Rp 1 miliar lebih,” kata dia.

Selain itu, menurut EC, anaknya yang juga baru saja melamar di Telkom University dapat menggunakan unit apartemen tersebut. Dia lalu memutuskan membeli dua unit apartemen sekaligus dengan harga tiap unitnya senilai Rp 358 juta. Uang muka pun sudah diserahkan. Dia membeli dua unit apartemen itu dengan mencicil.

Setahun lebih berselang, EC kelimpungan membayar cicilan saat COVID-19 merebak. Dia lalu mengajukan permohonan keringanan pada pihak pengembang. Tapi permohonannya ditolak. Dia mengajukan kembali permohonan agar unitnya yang semula dua dijadikan satu dengan harapan cicilannya dapat lebih ringan. Permohonan itu disetujui.

Namun, meskipun sudah dijadikan satu unit, cicilannya masih berkisar di angka Rp 3 juta. Selain itu, dikarenakan mengubah jumlah unit, total uang cicilannya yang sudah mencapai Rp 153 juta dipotong Rp 20 juta oleh pihak pengembang. Dia yang masih keberatan tak membayar cicilan selama beberapa bulan hingga menerima tiga kali surat peringatan.

“Uang yang masuk dipotong Rp 20 juta. Saya bingung juga liat perhitungannya bagaimana, tapi yang jelas uang kami diambil Rp 20 juta dalam rangka memindahkan menjadi satu unit tersebut,” papar dia.

Tiba-tiba, menurut EC, pihak pengembang memberi tahu bahwa pembelian unit telah dibatalkan dan EC tak akan menerima pengembalian uang sebagaimana tertuang dalam akta perjanjian. Dia mengaku sempat memprotes tapi pihak pengembang berkukuh bahwa uang yang telah disetorkan tak dapat dikembalikan.

“Katanya di akta kan tertulis kalau batal sepihak maka uangnya tidak kembali. Itu padahal uangnya Rp 150 jutaan, bukan kecil lah ya,” ungkap dia.

Setelah menerima informasi uangnya tak dapat kembali, EC mengaku pasrah. Sampai, beberapa bulan kemudian, ada informasi soal PKPU. Dia lalu menyewa jasa kuasa hukum agar uang cicilan yang sudah disetorkan dengan susah payah dapat dikembalikan. Di usianya yang sudah senja, dia hanya ingin uangnya ratusan jutanya dapat kembali.

“Saya berharap uang saya bisa refund. Bagi kami pensiunan, uang ratusan juta itu benar-benar bukan sesuatu yang kecil,” kata dia.(Sumber)