News  

Anggaran Wajib Kesehatan Dihapus, Menkes: Buang Uang Terlalu Banyak!

Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan, Indonesia jangan meniru negara lain yang sudah membuang uang atau anggaran terlalu banyak di bidang kesehatan, namun hasilnya tidak bagus.

 

Hal ini menanggapi keputusan dihapusnya anggaran wajib (mandatory spending) dalam Undang-Undang (UU) Kesehatan yang baru saja disahkan siang ini, Selasa (11/7/2023).

 

Menurut Budi, ketentuan besarnya mandatory spending tidak menentukan kualitas dari keluaran (outcome) atau hasil yang dicapai. Adapun mandatory spending adalah pengeluaran negara yang sudah diatur dalam UU.

 

“Itu yang kita ingin mendidik masyarakat, butuh bantuan dari teman-teman bahwa jangan kita meniru kesalahan yang sudah dilakukan banyak negara lain yang buang uang terlampau banyak,” kata Budi usai menghadiri rapat paripurna pengesahan UU Kesehatan di Kompleks Parlemen, Jakarta Pusat, Selasa (11/7/2023).

 

Budi menyampaikan, tidak ada data dari satupun negara yang membuktikan besarnya pengeluaran di bidang kesehatan akan berpengaruh pada derajat kesehatan seseorang.

 

Ia lantas menyebut besaran pengeluaran beberapa negara di bidang kesehatan, disandingkan dengan rata-rata usia harapan hidup warganya. Di Amerika Serikat (AS), pengeluaran kesehatannya mencapai 12.000 dollar AS dengan rerata usia harapan hidup mencapai 80 tahun.

 

Namun di Quba dan negara lainnya, pengeluaran di bidang kesehatan lebih kecil dengan usia harapan hidup yang sama. Negara itu hanya mengeluarkan belanja negara di bidang kesehatan sebesar 1.900 dollar AS, dengan usia harapan hidup mencapai 80 tahun.

 

Di Jepang dengan pengeluaran sekitar 4.800 dollar dengan usia harapan hidup 80 tahun, Korea Selatan 3.600 dollar AS dengan usia harapan hidup 84 tahun, dan Singapura 2.600 dollar AS dengan rata-rata usia harapan hidup mencapai 84 tahun.

 

“Bayangkan 12.000 dollar AS outcome-nya 80 tahun, versus (sekitar) 2.000 dollar AS (di Quba) dengan outcome-nya 80. Tidak ada data yang membuktikan bahwa spending makin besar derajat kesehatannya membaik,” ucap Budi.

 

Lebih lanjut, Budi menyampaikan, Indonesia akan membutuhkan dana luar biasa besar juga anggaran wajib dipatok.

 

Untuk menyamai AS dengan pengeluaran 12.000 dollar AS misalnya, Indonesia perlu menambah pengeluaran hingga 11.000 dollar AS dikali sekitar 270 juta penduduk.

 

“Sekitar 11.000 dollar AS tambahan yang harus ditanggung oleh masyarakat dan pemerintah. 11.000 dollar kali 270 juta, itu bisa dihitung berapa triliun dollar AS, puluhan triliun dollar AS, 20-30 kali GDP Indonesia kalau kita fokusnya ke spending,” kata Budi.

 

Sebagai informasi, hilangnya mandatory spending dalam beleid terbaru tentang kesehatan disoroti oleh banyak pihak.

 

Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) salah satunya, menyebut bahwa penghapusan mandatory spending sektor kesehatan sebesar 10 persen dari APBN dan APBD menjadi ketentuan yang bermasalah.

 

Padahal, masih ada 58 dari 514 kabupaten/kota di Indonesia yang proporsi anggaran kesehatannya di bawah 10 persen pada 2021, dengan distribusi alokasi yang timpang.

 

 

Founder dan CEO CISDI Diah Satyani Saminarsih menyampaikan, realita di lapangan memprihatinkan.

 

Prioritas pembangunan kesehatan nasional sulit terlaksana di daerah karena dalih keterbatasan anggaran.

 

“Sektor kesehatan juga kerap tidak menjadi prioritas dalam penyusunan rencana pembangunan daerah. Hilangnya mandatory spending anggaran kesehatan membuat tidak ada jaminan atau komitmen perbaikan untuk menguatkan sistem kesehatan di tingkat pusat maupun daerah,” papar Diah.(Sumber)