News  

UU Kesehatan dan Ancaman Masa Depan Bangsa Indonesia

Rapat paripurna DPR pada Selasa (11/7/2023) mengesahkan Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Kesehatan menjadi undang-undang. Publik perlu memahami pengesahan undang-undang ini dalam perspektif luas.

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional menyebut sembilan dari 10 target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) di bidang kesehatan pada era Presiden Joko Widodo terancam gagal.

Kegagalan merealisasikan target RPJMN bidang kesehatan sebenarnya tidak perlu terjadi kalau pemerintah (Kementerian Kesehatan) konsisten antara kata dan perbuatan, mengoptimalkan potensi, tidak perlu melompat jauh dengan transformasi kesehatan dan Omnibus Law Kesehatan.

Seharusnya Kementerian Kesehatan fokus pada kewajiban dasar yang menjadi prioritas agar persoalan krusial di bidang kesehatan teratasi. Narasi Menteri Kesehatan dan jajarannya makin aneh sekaligus menambah khazanah kisah lucu di negeri ini.

Saat di depan Komisi IX DPR pemerintah mengeluhkan peran yang terbatas dalam mengatur dokter. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dinilai terlalu memonopoli dunia kesehatan nasional dari hulu hingga hilir dan dilindungi undang-undang.

UU Kesehatan diharapkan bisa mengembalikan tugas itu kepada negara. Kewenangan IDI tidak sebesar yang disampaikan pemerintah. Aneh juga bila kegagalan pemerintah mengelola urusan kesehatan ditimpakan kepada IDI sebagai kambing hitam.

Menteri Kesehatan menyebut RUU Kesehatan sulit diterima ”pemain”. Ini memunculkan penafsiran liar tentang makna ”pemain”. Bisa jadi yang kontra UU Kesehatan dan gerakan lima organisasi profesi lainnya dianggap mampu membayar influencer dan buzzer sebagaimana mereka biasa lakukan. Peserta demonstrasi menolak RUU Kesehatan yang ribuan orang dari berbagai daerah, termasuk para profesor, dianggap “pemain” bayaran.

Lebih dari 100 guru besar lintas profesi yang spontan membentuk Forum Guru Besar Lintas Profesi (FGBLP) menghasilkan petisi tentang urgensi penundaan pengesahan RUU Kesehatan. Mereka dituduh termakan hoaks. Para penentang RUU Kesehatan dicitrakan sebagai termakan hoaks.

Kenyataannya hoaks terbesar adalah RUU Kesehatan itu yang muncul bagai siluman, buru-buru tanpa urgensi. Pola pikir kita digiring untuk mengatasi masalah kesehatan secara pragmatis, misalnya, isu kurangnya dokter spesialis hingga perlunya dokter dan rumah sakit asing.

Ini mengalihkan kegagalan negara kepada organisasi profesi sekaligus menutupi berbagai proyek tersembunyi selama pandemi. Dokter dan tenaga kesehatan beserta organisasi profesi sudah tak lagi diperlukan, kecuali menjadi pion dalam industrialisasi kesehatan.

UU Kesehatan adalah pemufakatan jahat untuk memudahkan kapitalisme serta liberalisme global menguasai sektor kesehatan. Pemerintah mengajak para pebisnis dunia berinvestasi di sektor kesehatan.

Menurut Menteri Kesehatan, investasi di bidang kesehatan bisa dilakukan melalui mekanisme pembiayaan penanganan pandemi yang kemudian disebut dana pandemi (pandemic fund). Semua anggota G20 akan berkontribusi pada dana pandemi hingga mencapai US$1,4 miliar.

Ini grand design yang disiapkan jauh hari sehingga kita terkesan terlambat merespons RUU Kesehatan. Gerakan sistematis mengubah health care menjadi health imdustry sudah terkonsep sebagai bagian dari liberalisme global.

Hilangnya mandatory spending 5% untuk kesehatan (dari APBN) membuktikan industrialisasi kesehatan sangat dominan. Ini mengabaikan komitmen terhadap Pasal 34 ayat (3) UUD 1945, bahwa negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.

Kerawanan Data
Blind Spot paling berbahaya dari UU Kesehatan adalah kerawanan data genomik yang diambil melalui Biomedical and Genome Science Initiative atau BGSI. Menteri Kesehatan berupaya menerapkan data genomik da?am skrining status kesehatan dan penerapannya akan menghasilkan precision medicine.

Ambisi ini merupakan buah simalakama. Di satu sisi pengembangan keilmuan memungkinkan peneliti menganalisis jenis penyakit dalam suatu populasi dan menemukan cara untuk menyembuhkannya. Di sisi lain, data tersebut dapat disalahgunakan untuk tujuan bisnis atau niat lain yang membahayakan keamanan nasional.

Saat ini BGSI telah mengambil data di tujuh rumah sakit vertikal dan Kementerian Kesehatan mengejar target 10.000 genom dalam dua tahun. BGSI didesain sebagai platform kolaboratif, termasuk dengan pihak luar, yaitu Illumina, BGI, dan Oxford Nanopore Technologies.

Bill & Melinda Gates Foundation lewat Illumina menyerahkan reagen senilai lebih dari US$500.000 untuk mendukung kegiatan genomik Covid-19. Bagaimana kita bisa memastikan eksistensi dan kemandirian BGSI?

Saat hadir menjalin kerja sama dengan Beijing Genome Institute atau BGI di Shanzen, China, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut B. Pandjaitan menilai salah satu alasan keberhasilan riset adalah besarnya dana penelitian yang dikeluarkan oleh Pemerintah China.

Ironis karena kita pernah memiliki Lembaga Eijkman yang mengembangkan bioteknologi kedokteran di bawah pemerinmtah yang kemudian dilebur ke Badan Riset dan Inovasi Nasional atau BRIN sejak September 2021.

Liberalisasi
Seorang peneliti doktoral Indonesia dalam keamanan kesehatan global di Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman, mengatakan Indonesia terdiri dari banyak kelompok etnis dan memiliki keanekaragaman hayati serta aset yang dapat membuatnya rentan terhadap eksploitasi untuk berbagai kepentingan, termasuk kepentingan komersial dan bioterorisme.

Dia menunjukkan bahwa perusahaan asuransi dapat menolak aplikasi pertanggungan asuransi dari orang Indonesia berdasarkan data genomik dan prediksi risiko kesehatan mereka, sementara perusahaan farmasi dapat memanfaatkan informasi tersebut untuk menjual obat-obatan.

Perlindungan data di Indonesia terbukti masih lemah. UU Perlindungan Data Pribadi Indonesia belum cukup menjamin perlindungan data kesehatan Indonesia. Ketahanan nasional di bidang Kesehatan adalah mutlak kita miliki dan kemandirian di bidang bioteknologi haruslah kita wujudkan bersama tanpa harus mengorbankan kedaulatan bangsa.

Omnibus Law Kesehatan akan membuat kita makin terbuka dalam industrialisasi kesehatan. Sektor kesehatan berkembang maju ditandai dengan perilaku konsumen kesehatan yang “sudah” sesuai market yang mereka buat.

Industrialisasi kesehatan bukan hanya mengupayakan kesembuhan pasien, tapi juga menciptakan kebutuhan-kebutuhan baru yang bisa mereka penuhi, termasuk menciptakan penyakit-penyakit baru berdasar data biologis di negeri ini. Data biologis itu mulai sampel keanekaragaman hayati, kuman/ virus, hingga data genom.

Terintegrasinya data kesehatan secara rapi dan digital akan memudahkan mapping untuk kebutuhan industri kesehatan. Pengembangan keilmuan serta riset akan diselaraskan dengan kebutuhan industri kesehatan.

Ilmu kedokteran dikembangkan untuk memenuhi hasrat pengembang bisnis. Dokter serta tenaga kesehatan hanyalah pekerja di sektor bisnis kesehatan. Tak memiliki kebebasan berpikir ilmiah. Hanya bekerja sebagai tenaga vokasi.

Liberalisasi kesehatan menapaki fase penting didukung UU Kesehatan serta ruang nyaman yang dikelola oleh absolutisme otoritas kesehatan (Kementrian Kesehatan). Penguasaan sektor kesehatan mulai dari hulu hingga hilir termasuk big data dan program kesehatan disinergiskan dengan mudah dalam satu kementerian.

Banyak yang menganggap terobosan Menteri Kesehatan ini akan menguntungkan rakyat karena terlayani dengan sistem kesehatan yang berteknologi canggih dan berbagai kemudahan, padahal kita tertipu.

Sistem kesehatan kita nantinya sangat bergantung pada kemauan investor. Yang tersisa hanyalah tanah air yang terbuka menerima order (pesanan) sesuai dengan kemauan liberalisme global. Masihkah kita berharap dari UU Kesehatan?(Sumber)