News  

Denny Indrayana Ingin Makzulkan Jokowi, Ini Mekanisme Pemakzulan Menurut UU

Mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM, Denny Indrayana, mengirim surat terbuka kepada DPR RI untuk memulai proses impeachment atau pemakzulan kepada presiden Joko Widodo. Pemakzulan tersebut merupakan buntut dari pernyataan Jokowi yang mau cawe-cawe dalam konteks Pemilihan Presiden (pilpres) 2024.

Dalam surat terbuka yang diunggah Denny Indrayana di akun Twitternya, cawe-cawe yang dilakukan oleh Jokowi jelang pilpres diduga melanggar konstitusi. Selain itu, Denny menduga bahwa Jokowi telah melakukan tiga pelanggaran konstitusional, sehingga DPR RI harus memulai proses impeachment atau pemakzulan.

Menurut pengalaman ketatanegaraan Indonesia, pemakzulan presiden bukan menjadi hal asing. Sebelum ramai impeachment atau pemakzulan Jokowi dalam surat terbuka Denny Indrayana, setidaknya ada tiga presiden yang pernah dimakzulkan, yaitu Soekarno, Soeharto dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur).

Survey-tempo-728-x-90
Berdasarkan catatan sejarah, rakyat menggugat Presiden Soekarno karena terlibat kasus G30S/PKI. Sementara Soeharto lengser pada 1998 akibat terjadi krisis ekonomi yang membuat rakyat marah dan melengserkan Soeharto. Sedangkan zaman Gus Dur terjadi politik zig-zag kemudian Gus Dur mengeluarkan dekrit presiden.

Dari peristiwa pemakzulan tersebut, banyak orang yang mengartikan bahwa pemakzulan atau impeachment adalah pemecatan presiden. Lalu, apa sebenarnya impeachment atau pemakzulan presiden seperti dalam surat terbuka Denny Indrayana? Bagaimana mekanisme pemakzulan dalam UU? Simak informasi selengkapnya di bawah ini.

 

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata pemakzulan berasal dari kata dasar “makzul” yang berarti ‘berhenti memegang jabatan; turun takhta’. Pemakzulan merupakan proses, cara, atau perbuatan untuk memakzulkan seseorang dari jabatannya, memberhentikan dari jabatan, atau meletakkan jabatannya (sendiri) sebagai pemimpin; berhenti sebagai pemimpin.

Dalam bahasa Inggris, istilah pemakzulan dikenal dengan istilah impeachment. Kata impeachment juga memiliki sinonim dengan accusation yang memiliki arti pendakwaan. Dengan demikian, “impeachment” adalah sebuah proses di lembaga legislatif yang secara resmi mengajukan dakwaan terhadap seorang pejabat tinggi negara.

Namun, penting untuk dicatat bahwa pemakzulan tidak selalu berarti pemecatan atau penghapusan jabatan. Pemakzulan adalah sebuah pernyataan dakwaan resmi yang mirip dengan proses peradilan dalam kasus-kasus kriminal. Ini hanya merupakan langkah awal menuju kemungkinan pemecatan pejabat tersebut.

Setelah seorang pejabat menjalani proses pemakzulan dan dijatuhkan sanksi pemakzulan, ia kemudian menghadapi kemungkinan untuk dinyatakan bersalah melalui pemungutan suara di lembaga legislatif, yang akhirnya dapat mengakibatkan pemecatan pejabat tersebut. Pemakzulan diatur dalam undang-undang konstitusi di banyak negara di seluruh dunia, termasuk Amerika Serikat, Brasil, Rusia, Filipina, dan Republik Irlandia.

Mekanisme Pemakzulan Berdasarkan UU
Pemakzulan presiden sejatinya tidak dapat terjadi begitu saja. Pemakzulan presiden harus berdasarkan alasan hukum dan bukan berdasarkan alasan politis. Hal itu sesuai dengan amanat yang diatur dalam pasal 7A dan 7B UUD 1945 yang memuat:

Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Dalam konteks konstitusional, ketentuan mengenai pemakzulan diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai aturan dasar dan sumber hukum di Indonesia. Proses pemakzulan selalu harus sesuai dengan konstitusi sebagai wujud dari negara yang berdasarkan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan berdasarkan UUD 1945 (demokrasi konstitusional).

Menurut UUD 1945, proses pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden harus diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Namun sebelum proses pengajuan pemberhentian kepada MPR, DPR sebagai pihak yang memiliki kedudukan hukum harus mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi (MK).

Sebelum langkah-langkah tersebut di atas dilakukan, DPR menggunakan hak angket sebagai upaya penyelidikan terhadap kebijakan Presiden dan/atau Wakil Presiden. Selanjutnya, DPR menggunakan hak menyatakan pendapat sebagai langkah untuk membawa Presiden dan/atau Wakil Presiden ke MK.

Setelah permohonan DPR terkait pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden berhasil diajukan ke MK, dan MK memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran Pasal 7A UUD 1945, maka Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak secara otomatis dapat diberhentikan setelah pembacaan Putusan MK.

Proses selanjutnya melibatkan sidang paripurna MPR. Keputusan untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden harus dihadiri oleh setidaknya 3/4 dari jumlah anggota MPR dan harus disetujui oleh setidaknya 2/3 dari jumlah anggota MPR yang hadir.

Proses Pemakzulan Tidaklah Mudah
Sementara itu, Pakar Hukum Tata Negara dan Konstitusi Universitas Muslim Indonesia, Fahri Bachmid, menyebut proses impeachment atau pemakzulan Jokowi yang digagas oleh Denny Indrayana kepada DPR, membutuhkan waktu yang lama dan rumit jika diproses. Proses pemakzulan itu, kata Fahri, mekanismenya diatur dalam ketentuan Pasal 7B UUD 1945.

Proses pemakzulan hanya dapat dilakukan jika Jokowi terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, perbuatan tercela, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden.

“Tentunya DPR jika berkehendak untuk melakukan pemakzulan kepada presiden dan/atau wakil presiden, pastinya dengan mendasari serta berpijak pada kewenangan konstitusional berupa melakukan pengawasan dengan menggunakan beberapa instrumen haknya, di antaranya adalah hak angket atau hak menyatakan pendapat untuk menyelidiki potensi pelanggaran konstitusi tersebut,” ujar Fahri dalam keterangannya kepada Tempo, Kamis, 8 Juni 2023.(Sumber)