News  

Ketika Tanah Abang Tak Lagi Macet dan Sepi Pembeli

Sebagai pusat grosir terbesar di Asia, geliat ekonomi Pasar Tanah Abang seharusnya tak perlu diragukan lagi. Transaksi miliaran rupiah terjadi di dalam Pasar Tanah Abang setiap harinya. Ribuan orang pun mendapat penghidupan dari keberadaan Pasar Tanah Abang, mulai dari pedagang pakaian di dalam lokasi pasar, pedagang kaki lima di sekitar, penjaja jajanan makanan dan minuman hingga pelaku transportasi serta akomodasi.

Namun segalanya berubah, Pasar Tanah Abang saat ini tak semenggairahkan seperti dulu. Pandemi Covid-19 yang merubah perilaku konsumen menjadi salah satu penyebab mengapa geliat ekonomi Pasar Tanah Abang tak seperti dahulu.

Pedagang pakaian denim grosir Jewel Fashion Store di lantai 3, Mutiara mengungkapkan kegelisahannya atas menurunnya geliat ekonomi di Pasar Tanah Abang. Ia mengatakan omzet tokonya menurun drastis apabila dibandingkan tahun lalu. Menurut Mutiara, omzet bisa turun hingga mencapai 50 persen.

“Turun banget sih (omzet), jujur kalau memang dilihat dari tahun lalu, waktu awal saya masuk, turunnya lumayan ditampar. Kasarannya bisa sampai turun 50%. Untuk di grosir sendiri, per bulan, mungkin dari ratusan juta per bulan, masih di ratusan, tapi yang Rp 200 juta jadi Rp 100 juta,” kata Mutiara dikutip redaksi Radaraktual.com dari pemberitaan Kumparan berjudul ‘Cerita Pedagang Tanah Abang, Seharian Tak Ada Pembeli’.

Mutiara mengatakan, penurunan jumlah penjualan di Pasar Tanah Abang tak bisa dipungkiri akibat menjamurnya platform penjualan online. Pasca Pandemi Covid-19, kemunculan platform dagang online kian menjamur. Mulai dari Shopee, Instagram, hingga TikTok Shop, memanjakan konsumen melihat barang dagangan secara live.

Selain itu sebagai penjual produk impor dari China, fenomena jasa titip (jastip) dari luar negeri juga berdampak pada penurunan omzet tokonya.

“Apalagi kita grosir ya, lebih berdampak. Orang-orang sekarang juga lebih suka belanja sendiri. Karena kan kita impor, kalau impor kan lagi musim juga jastip Bangkok, jadi mereka langsung ke sana, langsung jual di online. Jadi mereka nggak ambil lagi kita di grosiran,” ujar dia.

Mungkin banyak yang menyerukan agar para pedagang di Pasar Tanah Abang ikut trend menjual dagangan secara online. Tentu perubahan perilaku konsumen tak semudah merubah perilaku distributor.

Bagi Mutiara ada perbedaan mendasar dari menjual dagangan secara online dan bertahan di Pasar Tanah Abang. Menurutnya pembeli online lebih tertarik membeli satuan. Sementara jika tokonya berjualan satuan, maka pembeli grosir akan berkurang. Selain itu, sudah terlalu banyak ekosistem penjual online yang lebih dulu berada di berbagai platform, sudah sedikit terlambat jika ingin beralih sistem dagang.

Pemandangan di Tanah Abang

Sebelumnya, kabar sepinya Pasar Tanah Abang tersebar viral di media sosial. Berbagai foto mengenai tutupnya banyak toko dan kios di Pasar Tanah Abang membuat netizen terenyuh. Saat redaksi mendatangi, suasana jalan yang terletak di depan Pusat Mode Tanah Abang memang nampak lowong. Tak nampak kemacetan karena lalu lalang pedagang dan pembeli seperti sebelum pandemi COVID-19 melanda.

Saat masuk ke gedung Pusat Mode Tanah Abang, lantai ground (G) terisi oleh pedagang dengan menjajakan beragam jenis pakaian. Tetapi terlihat banyak kios kosong. Nampak sejumlah pembeli, namun tak ramai. Kebanyakan pengunjung adalah pembeli barang grosir langganan.

Di lantai upper ground (UG), kios-kios masih terisi. Tetapi pembelinya lebih sepi dari lantai pertama. Penampakan yang sama juga terlihat di lantai 2 dan 3, bahkan lebih sepi. Hanya sekitar 10 kios atau kurang yang terisi, dari 20 lebih kios yang tersedia. Banyak toko yang menyerah berjualan hingga sore dan terpaksa tutup di pukul 14.00 WIB.

Pemilik toko dress JM Negozio di lantai 2 Pasar Tanah Abang, Lina, mengamini bahwa toko memang makin sepi pengunjung sejak kemunculan platform belanja online, termasuk TikTok Shop hingga Shopee.

“Ini toko sendiri bareng kakak. Iya bener sepi, mungkin juga karena resesi, tapi juga memang banyak sih yang live TikTok gitu. Drastis (menurunnya), jalan kosong, toko-toko jam 2 sudah pada tutup saking sepinya,” kata Lina saat ditemui di tokonya.

Omzetnya juga turun drastis dibandingkan tiga tahun lalu. Menurutnya pada tahun 2020 silam, tokonya bisa meraih ratusan juta rupiah. Kini, puluhan juta saja tak sampai. Bahkan pembeli pun sangat jarang datang, pernah satu hari tokonya sama sekali tak kedatangan pembeli, satu minggu bahkan tak ada transaksi.

Persoalan ini memang harus menjadi perhatian khusus pemerintah. Meski sulit untuk mengubah perilaku konsumen, perlu ada stimulus ekonomi untuk kembali membuat Pasar Tanah Abang menggeliat. Regulasi dari penjualan online pun diperlukan. Akan sulit bersaing bagi para pelaku pedagang online jika tak ada kebijakan strategis dilakukan.

Para penjual online tak perlu membayar kios, belum ada aturan pungutan pajak pula bagi mereka. Meski perputaran uang cukup besar dari sistem penjualan online, tetapi dampak ekonominya sangat kecil sekali. Hanya pribadi penjual yang mendapat keuntungan, sedangkan untuk negara, pelaku transportasi dan akomodasi serta layanan sejenisnya, tak ada profit yang dihasilkan. {redaksi}