News  

Cerita Korban KDRT Diremehkan Polwan: Luka Cuma Segini, Kok Lapor?

Lasmini, bukan nama sebenarnya, mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sejak 2015. Kekerasan terjadi terus menerus, bahkan kian parah.

Pada Mei 2021, ia melaporkan suaminya, Aldi (bukan nama sebenarnya) ke kantor polisi di Jakarta. Namun, laporannya tak disimapi serius karena luka di badannya dianggap tak cukup parah.

Lasmini diterima polisi wanita (polwan) saat membuat laporan. Namun, meskipun sesama perempuan, kehadiran polwan itu tak membantu sama sekali. Polwan itu justru meremehkan kekerasan yang didapat Lasmini.

“Luka cuma segini lapor-lapor,” kata Lasmini mengingat ucapan polwan tersebut kepadanya.

Lasmini diam. Kemudian, polwan itu kembali berkata, “luka segini bisa diketawain hakim mbak, lagi pula mbak tidak ada saksi. Hanya bukti rekaman suara ribut.”

Padahal, kata Lasmini, dia sudah menceritakan situasi setiap dia mendapat kekerasan.

“Saya sudah jelaskan ke oknum tersebut bahwa bagaimana saya mau ada saksi, secara itu lingkungan keluarga si pelaku,” kata Lasmini.

Setelahnya, Aldi memohon agar laporan dicabut. Ia berjanji tak akan mengulanginya lagi. Akhirnya, Lasmini mencabut laporan pada September 2021.

Kehidupan mereka sempat membaik beberapa saat. Namun, tak lama, tabiat Aldi kembali seperti biasanya.

Lasmini bercerita ia jadi korban KDRT suaminya sejak hamil anak pertama. Di tahun 2015, ketika hamil, ia didorong hingga dilempar galon.

“Saat hamil anak pertama, saya didorong, dilempar galon, dan disumpal mulut dengan tisu kasar hingga mulut luka,” ucap Lasmini.

Saat mengiyakan ajakan Aldi untuk menikah, Lasmini tak ada pikiran macam-macam. Sebab, ia mengenalnya saat masih bekerja sebagai sesama pelayan di salah satu gereja di Jakarta.

Kekerasan yang dialami Lasmini terus berulang dan bertambah parah. Tak ada yang berani menghentikan Aldi, meskipun tetangga mereka tahu apa yang terjadi.

“Dijejelin di teralis ruang tamu, dan sempat dicekik. Saya berhasil buka pintu ruang tamu. Sedangkan saat saya dijejelin di teralis ruang tamu. Saudara si pelaku melihat dari luar hanya bilang, sudah, sudah, tetangga sekitar juga melihat,” tuturnya.

Lasmini terus menerima kekerasan dalam berbagai bentuk. Aldi bahkan berani melakukan kekejamannya kepada Lasmini di depan anak-anak mereka.

“Saya dilempar barang-barang yang ada di dalam kamar saat saya dan anak-anak mengunci diri di kamar karena ketakutan saat itu beliau sedang marah besar,” kata dia.

Lasmini juga dicaci maki sesukanya. “Saya disebut perempuan rusak, perempuan lonte, perempuan jalang, perempuan nikah jual mek*,” ucapnya.

Kemarahan dan kemuakan Lasmini memuncak pada pertengahan 2022. Saat dalam perjalanan di mobil, Lasmini dipukuli. Kepalanya dibenturkan ke dashboard mobil sebanyak tiga kali hingga benjol sebesar buah kedondong.
Lasmini pun melaporkan Aldi ke kantor polisi di kawasan Kota Bogor pada Agustus. Awalnya, laporan diproses dengan cepat. Namun melambat dan hingga akhir 2022 Aldi belum juga ditetapkan sebagai tersangka.

Pelaku masih melenggang sana-sini. “Siapa yang berani tangkap saya,” kata pelaku, usai laporan itu diajukan. Pernyataan itu didengar oleh asisten rumah tangga mereka, kemudian sampai ke telinga Lasmini.

Kemudian, Lasmini tak sengaja melihat isi percakapan Aldi dengan pengacaranya. Inti percakapan itu membahas ‘apel Malang’ agar Aldi bisa bebas dari jeratan hukum.

“Tanpa sengaja saya temukan chat WhatsApp pelaku dengan kuasa hukumnya perihal mau SP3 (surat perintah penghentian penyidikan) laporan saya dan akan memberikan sejumlah ‘apel Malang’ ke pihak terkait yang tangani laporan saya,” ujarnya.

Lasmini marah besar. Dia langsung menelepon penyidik polisi yang menangani laporannya. Dia menanyakan maksud dari percakapan yang tak sengaja dia baca itu.

Pihak kepolisian berdalih tidak tahu-menahu. Lasmini datang dan membawa bukti cetak percakapan yang ia maksud.

“Saya sampai tanyakan ke pimpinannya maksudnya apa. Apa saya harus mati dulu, atau terkapar di ICU baru ada penetapan tersangka. Saya katakan, apa laporan saya dimentahkan lagi seperti di tahun 2021? Luka saya kurang parah?” ujarnya.

Pada akhir Februari 2023, Aldi ditetapkan sebagai tersangka. Pihak kepolisian juga menegaskan bahwa tidak ada ‘apel Malang’. Setelah itu, berkas perkara diserahkan penyidik polisi ke kejaksaan.

April 2023, berkas perkara dinyatakan P19. Artinya, berkas dikembalikan kejaksaan kepada penyidik polisi karena dinilai kurang lengkap. Polisi pun dimintai bukti CCTV untuk melengkapi keterangannya mendapatkan kekerasan di mobil.

Proses penindakan mulai melambat. “Setiap saya tanya sudah belum (melengkapi) P19 (ke polisi), selalu bilang berkas lagi banyak. Kesulitan dapat CCTV perlu proses dan lain lain,” ujarnya.

Karena gemas berkas perkara Aldi tak kunjung dibereskan, pada Mei 2023, Lasmini mengadu ke Divisi Profesi dan Pengamanan (Div Propam) Polri. Dua bulan kemudian, perkara Lasmini dapat surat atensi khusus dengan tembusan Kapolri, Irwasum, Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam), Kepala Divisi Humas Polri.

“Saya langsung kirim surat tersebut ke pihak terkait via WhatsApp, dengan ucapan hari ini LP (laporan polisi) saya genap satu tahun dan ini hadiah untuk LP saya. Baru dari situ saya olah TKP dan semua dipercepat,” ucap dia.

“Jika saya tidak melapor ke Mabes Polri dan Mabes Propam saya tidak tahu bagaimana nasib LP saya. Sedangkan saya hanya meminta keadilan,” imbuhnya.

14 September 2023, Lasmini dan Aldi resmi bercerai. Pelaku mengajukan gugatan setelah ditetapkan jadi tersangka.

Komnas Perempuan mencatat kasus KDRT selama tiga tahun terakhir menunjukkan kenaikan. Pada 2020, kasus KDRT mencapai 47 kasus. Pada 2021 sebanyak 78 kasus dan 2022 mencapai 171 kasus.

Berdasarkan aduan yang diterima berbagai sumber layanan, tahun 2020 kasus KDRT mencapai 93 kasus. Kemudian, 2021 sebanyak 457 kasus dan 2022 sebanyak 279 kasus. Namun, diyakini masih banyak kasus lain yang tak tercatat karena korban enggan melapor.

Komisioner Komnas Perempuan Alimatul Qibtiyah menyatakan KDRT tidak boleh dipandang sebagai urusan domestik. KDRT merupakan urusan publik yang harus jadi perhatian negara.

“Jika sudah ada kekerasan di dalamnya, maka itu urusan kita semua, urusan negara,” kata Alim kepada CNNIndonesia.com, Jumat (15/9).

Alim berpendapat aparat penegak hukum tak bisa menolak aduan KDRT. Ia menjelaskan KDRT telah memiliki payung hukum yang dalam Undang-undang (UU) Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.

Ia menegaskan korban KDRT membutuhkan pertolongan dan perlindungan segera. Dia mengibaratkan korban KDRT seperti warga yang terkena gempa kencang.

Menurut Alim, pada banyak kasus, korban lari tanpa membawa apapun. Karena fokus utamanya adalah menyelamatkan diri terlebih dahulu.

“Ketika situasi kayak gitu, sangat berharap si korban ini mendapatkan bantuan,” ujarnya.

Alim mengatakan mengabaikan laporan korban KDRT adalah tindakan membahayakan. Kekerasan bisa terus berlanjut hingga berakhir fatal, seperti yang dialami MSD (24) yang dibunuh suaminya NKW (25) di Cikarang Barat, Bekasi.

“Bisa saja meninggal dibunuh pelaku. Atau korban bunuh diri karena frustrasi,” kata dia.(Sumber)