News  

Penolong Korban Kecelakaan Bisa Terkena Pidana?

Seorang warga bernama Leonardo Siahaan mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Pasal 531 KUHP dan Pasal 312 UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ). Pemohon menilai dua pasal itu bertentangan dengan UUD 1945.

Sidang pendahuluan soal permohonan tersebut digelar pada Senin (2/10) kemarin. Sidang dengan nomor perkara 114/PUU-XXI/2023 ini dilaksanakan oleh Majelis Sidang Panel yang terdiri atas Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah, Suhartoyo, dan Daniel Yusmic P. Foekh.

Isi Pasal 531 KUHP yang disorot pemohon yakni yang menyatakan: “…Sedang pertolongan itu dapat diberikannya atau diadakannya dengan tidak ada menguatirkan, bahwa ia sendiri dan orang lain akan kena bahaya…”

Berikut isi lengkap Pasal 531 KUHP tersebut: Barang siapa ketika menyaksikan bahwa ada orang yang sedang menghadapi maut tidak memberi pertolongan yang dapat diberikan padanya tanpa selayaknya menimbulkan bahaya bagi dirinya atau orang lain, diancam, jika kemudian orang itu meninggal, dengan pidana kurungan paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Sementara, Pasal 312 UU LLAJ menyatakan: “Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor yang terlibat kecelakaan lalu lintas dan dengan sengaja tidak menghentikan kendaraannya, tidak memberikan pertolongan, atau tidak melaporkan kecelakaan lalu lintas kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia terdekat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 231 ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c tanpa alasan yang patut dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun atau denda paling banyak Rp 75.000.000.”

Ilustrasi gedung Mahkamah Konstitusi. Foto: Aditia Noviansyah
Ilustrasi gedung Mahkamah Konstitusi. Foto: Aditia Noviansyah

Dikutip dari laman MK, pemohon mengatakan Pasal 531 KUHP ini menegaskan seseorang yang melakukan pertolongan korban kecelakaan apabila dapat membahayakan korban dan bagi orang lain, maka yang melakukan pertolongan dapat dipidanakan.

Sehingga, menurut pemohon, norma demikian tidak memberikan apresiasi atas tindakan nurani seseorang yang menolong korban kecelakaan atau mengecualikan pertanggungjawaban spontanitas yang timbul dari naluri kepedulian membantu sesama yang membutuhkan pertolongan.

Sementara terkait dengan Pasal 312 UU LLAJ, pemohon memaknai bahwa seseorang tidak diberikan kesempatan memberikan penjelasan, tidak melapor segera ke kepolisian apabila seseorang tersebut berada di lokasi kecelakaan dan melihat suatu kecelakaan.

“Jadi, ada keselarasan antara ketentuan pada Pasal 531 KUHP bahwa menolong korban kecelakaan bisa dikenakan pidana dan pada Pasal 312 UU LLAJ frasa ‘tanpa alasan’. Jadi, kalau ada orang melihat korban kecelakaan tanpa melapor dapat pula dipidanakan,” jelas Leonardo yang menghadiri persidangan secara online.

Oleh karena itu, pemohon dalam petitumnya meminta MK menyatakan frasa “sedang pertolongan itu dapat diberikannya atau diadakannya dengan tidak ada menguatirkan, bahwa ia sendiri atau orang lain akan kena bahaya” dalam pasal 531 KUHP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat.

Kemudian meminta MK menyatakan frasa “tanpa alasan” pasal 312 UU LLAJ bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat.

Kata Hakim MK
Hakim Suhartoyo memimpin sidang uji materi UU KPK di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (8/1/2020). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Hakim Suhartoyo memimpin sidang uji materi UU KPK di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (8/1/2020). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan

Atas permohonan tersebut, Hakim Konstitusi Suhartoyo menegaskan norma pasal yang diujikan pemohon ini berkaitan dengan kebijakan criminal policy sehingga menjadi ranah dari pembuat undang-undang. Sementara,terkait norma pasal 531 KUHP jika permohonan pemohon dinyatakan inkonstitusional, maka norma tersebut menjadi tidak bermakna.

“Coba elaborasi lagi argumen positanya. Sebab, jika petitumnya sebagaimana pemohon mintakan, maka ini tidak ada makna normanya,” kata Suhartoyo dalam sidang tersebut.

Sementara Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah memberikan nasihat agar pemohon mencantumkan secara resmi sumber dari perbandingan atas ketentuan hukum pidana yang berlaku di beberapa negara lain yang dinilai tidak sama seperti di Indonesia.

“Misal di Australia, China, dan India apakah benar seperti itu, coba cantumkan pasal-pasal yang menyatakan tentang aturan yang seperti Pemohon sebutkan,” kata Guntur.

Pada akhir persidangan Guntur mengatakan pemohon diberikan waktu selama 14 hari untuk menyempurnakan permohonan. Naskah perbaikan dapat diserahkan selambat-lambatnya hingga Senin, 16 Oktober 2023 pukul 09.00 WIB ke Kepaniteraan MK.(Sumber)