News  

Gus Khoiron: Anies Gubernur DKI Jakarta Paling Toleran dan Capres Paling Santri

Tuduhan Anies Baswedan radikal dan intoleran yang selama ini digaungkan merupakan framing dari kelompok yang tidak puas atas hasil Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017 lalu. Apalagi terbukti selama lima tahun Anies memimpin Jakarta tidak ada satu pun stigma itu yang terbukti.

Hal tersebut disampaikan oleh mantan Komisioner Komnas HAM, Muhammad Nurkhoiron, Minggu (8/10).
“Itu bagian dari kontestasi politik yang sifatnya framing, opini, atau pernyataan-pernyataan. Faktanya lima tahun sampai Mas Anies selesai, yang dibuat seolah-olah nyata dalam framing itu kan tidak terbukti,” kata Gus Khoiron, sapaan akrab Nurkhoiron.

Menurutnya, selama Anies menakhodai Ibu Kota pada periode 2017-2022, tidak ada kegaduhan dalam hubungan antarumat beragama. Semua merasa nyaman.

Karena itu dia menegaskan Anies merupakan pemimpin yang paling teduh dan meneduhkan.
“Bahkan kalau dilihat dalam konteks siapakah gubernur (DKI) yang paling toleran selama memimpin lima tahun sejak (masa) Ali Sadikin (1966-1977), itu Anies paling toleran,” ucap Gus Khoiron, panggilannya.

Anies misalnya mengeluarkan puluhan Izin Mendirikan Bangungan (IMB) Gereja. Bahkan ada yang sudah sampai menunggu lebih dari 30 tahun dan hanya keluar pada masa Anies.

Belum lagi baru di era Anies pertama kali pendirian rumah ibadah umat Hindu etnis Tamil di Jakarta setelah penantian panjang hampir 60 tahun.

“Ada lagi Bantuan Operasional Tempat Ibadah (BOTI). Banyak lah (kebijakan Anies untuk umat beragama),” ungkapnya.

Malah, menurut Gus Khoiron, Anies bukan saja paling toleran, tapi juga gubernur paling menghormati hak asasi manusia (HAM) dalam konteks relokasi warga atas dalih pembangunan. Dia mengungkap Gubernur DKI Jakarta ke-17 itu yang paling kecil tingkat penggusuran warga selama lima tahun memimpin.

“Sebaliknya yang paling tidak pro rakyat, tidak toleran terhadap rakyat kecil dan suka menggusur itu Ahok,” sebutnya menyinggung nama mantan Gubernur DKI Jakarta bernama lengkap Basuki T. Purnama tersebut.

Belum lagi Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) DKI Jakarta, sambungnya, sejak era Anies tertinggi se-Indonesia. Khususnya dalam indikator kebebasan berpendapat dan berekspresi.

Karena itu baginya, masyarakat tidak akan percaya lagi dengan framing intoleran dan radikal yang masih terus dibesarkan terutama jelang Pilpres 2024 ini untuk menyerang Anies. Sebab tidak berbasis fakta.

Apalagi, capres dari Koalisi Perubahan itu kini berpasangan dengan Ketua Umum DPP PKB Muhaimin Iskandar.

“Bagaimana mungkin seorang yang disebut intoleran bisa berkoalisi dengan Cak Imin yang mewakili kelompok muslim paling mayoritas dan paling toleran, yaitu NU, dan muridnya Gus Dur. Cak Imin juga punya rekam jejak yang kuat dalam gerakan toleransi atau pluralisme beragama,” bebernya.

“(Framing) itu dengan sendirinya runtuh. Karena justru NU-lah paling depan melawan gerakan radikal di Indonesia. Apalagi (Anies-Muhaimin) dibantu oleh kiai-kiai,” imbuh alumnus Pondok Pesantren Nurul Huda, Mergosono, Malang ini.

Dia pun menepis anggapan kalau masih ada kalangan santri yang tidak menerima Anies-Muhaimin (AMIN). Di samping Cak Imin yang memang tumbuh besar di pesantren bahkan cicit pendiri NU KH Bisri Syansuri, Anies juga santri Pesantren Pabelan, Magelang.

Bahkan sanad keilmuan Anies lewat KH Hamam Djafar (pendiri Pesantren Pabelan) bersambung ke KH Hasyim Asyari, pendiri NU yang juga pendiri Pesantren Tebuireng.

“Justru pasang AMIN inilah mewakili santri 100 persen. Bahkan dari seluruh aliran di Indonesia yang menyatakan dirinya santri, pasangan AMIN bisa masuk. Mau pesantren NU, pesantren Muhammadiyah, atau pesantren tidak NU dan tidak Muhammadiyah, (AMIN) itu pasti diterima,” kata santri yang menyelesaikan S1 di UGM dan S2 di UI ini menekankan.

Apalagi kalau dibandingkan dengan Prabowo Subianto atau Ganjar Pranowo, Anies sudah pasti lebih santri daripada dua capres lainnya tersebut. Dengan sedikit guyon, dia menilik setidaknya dari sisi nama.

“Ya pasti Anieslah. Namanya saja sudah berbau santri. Anies Rasyid Baswedan. Muhaimin Iskandar. Yang lain kan namanya saja tidak santri. Kalau soal perilaku bisa diperdebatkan,” tutupnya sambil tertawa kecil. (IK)(Sumber)