News  

Di Ambang Syahid di Gaza, Bang Onim: Insya Allah Ketemu Anak dan Istri di Surga

Ini bisa selamat enggak, ya? Bisa selamat enggak, ya?” pertanyaan itu terulang-ulang di dalam kepala Abdillah Onim, seorang relawan WNI di Palestina, saat melintasi jalanan bagian selatan Jalur Gaza di bawah gempuran Israel dan mayat-mayat bergeletakan di atas aspal.

Pria yang akrab disapa Bang Onim itu merangkul erat istri dan ketiga anaknya — berusaha menguatkan diri, sementara di depan matanya tampak tubuh-tubuh lemah manusia diratakan oleh rudal. Kala itu, Onim sangat yakin dia dan keluarganya tidak akan selamat.

Tetapi bagi Onim, tewas bersama keluarganya terdengar tidak begitu menyakitkan bila dibandingkan harus meninggal sendirian.

Cerita Onim kepada dibagikan kumparan, melalui program Diplomatic Talk (DipTalk) pada Sabtu (18/11). Pria asal Maluku Utara tersebut sudah beberapa pekan berada di Indonesia, sejak berhasil dievakuasi dari Jalur Gaza pada awal November lalu.

“Saya lebih memilih kalau contohnya meninggal, meninggal bareng saja sama anak dan istri. Jadi, saya katakan bahwa ke istri saya dan anak saya, ‘kayaknya kita tidak akan selamat deh’ tapi nanti insyaallah kita bertemu di surga,” kata Onim.

Onim dan keluarganya seolah adalah orang yang dipilih Tuhan untuk bisa selamat dari jalur evakuasi dari Kota Gaza ke bagian selatan — yang jauh dari kata ‘aman’ meskipun itu dijuluki ‘jalur evakuasi warga sipil’ oleh Israel.

Onim dan keluarganya, kala itu, melihat bagaimana warga Gaza yang semula memiliki harapan untuk bisa tetap menjalankan hidup dan membela tanah airnya, kandas hanya dalam hitungan detik.

Harapan itu dimunculkan oleh penjajah yang mengatakan ada lokasi aman di bagian selatan Gaza. Namun, harapan itu pula dihancurkan Israel dengan mengebom jalanan ke sana. “Kita melihat bagaimana warga Gaza utara yang diarahkan untuk dievakuasi ke Gaza Selatan dalam hitungan detik meninggal,” kata Onim.

Melihat pemandangan itu, Onim masih merangkul anak dan istrinya dengan erat — padahal di setiap sisi mereka diterjang bom. Mental Onim sempat menciut, mempertanyakan bagaimana nasib nyawanya.

“Dan itu melewati kiri kanan mayat, di bawah reruntuhan dan ya Allah kuat enggak ya? Selamat enggak ya? Jadi, pada saat melewati jalur tersebut, itu lepas semuanya dan kami saling merangkul,” ungkap Onim.

“Dalam hitungan detik kita berjalan dengan membawa baju tiba-tiba bom datang, selesai. Itu yang terjadi saat ini di Jalur Gaza. Dengan demikian, saya berada di sana sebagai saksi hidup dan untuk perjalanan evakuasi, akses atau jalannya tersebut pasti meninggal dunia,” jelasnya.

Onim, pada gilirannya, memikirkan yang terpenting apabila jalan terbaik adalah syahid di Jalur Gaza — maka itu harus terjadi saat anak dan istrinya berada di dalam rangkulan Onim.

“Kalau meninggal kena rudal, ya sudah kita meninggal bareng saja di sini. Itu yang terjadi,” tutup Onim.(Sumber)