News  

400 Hektar Lahan Garapan Dikuasai Mafia Tanah, Ratusan Petani Lamtim Demo di Kantor BPN Lampung

Ratusan masyarakat petani yang tersebar di 8 desa yang berada di Lampung Timur melakukan aksi demo di depan Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Provinsi Lampung, Kamis (30/11) siang.

Mereka menggelar aksi demo guna meminta keadilan atas lahan yang telah mereka garap sejak tahun 1968 lalu, namun terbit Sertifikat Hak Miliki (SHM) atas nama orang lain tanpa sepengetahuan para penggarap lahan.

Dari pantauan Lampung Geh, ratusan petani ini datang dengan menggunakan belasan kendaraan truk. Mereka langsung menggelar aksi sambil membawa beberapa poster dan spanduk yang berisikan tuntutan.

Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandar Lampung, Sumaindra Jarwardi mengatakan, ada sekitar 401 hektare lahan yang digarap oleh petani.

Setidaknya ada 8 desa yang terdampak atas diterbitkannya SHM tanpa sepengetahuan para penggarap lahan.
“Ada 8 desa yang terdampak yakni Desa Sripendowo, Desa Bandar Agung, Desa Waringin Jaya, Desa Wana, Desa Srimenanti, Desa Giring Mulyo, Desa Sribhawono, Desa Brawijaya yang kesemuanya berada dalam wilayah Kabupaten Lampung Timur,” kata Direktur LBH Bandar Lampung, Sumaindra Jarwardi dalam keterangannya, Kamis (30/11).

Direktur LBH Bandar Lampung, Sumaindra Jarwardi saat diwawancarai. | Foto : Galih Prihantoro/ Lampung Geh
Sumaindra menjelaskan, aksi yang dilakukan ini guna menuntut kejelasan dari BPN Lampung atas terbitnya SHM lahan.

“Lahan yang telah mereka garap selama kurang lebih 20 tahun berturut-turut tersebut diterbitkan Sertifikat Hak Miliki (SHM) atas nama orang lain tanpa sepengetahuan para penggarap,” jelasnya.

Dia mengungkapkan, masyarakat telah menggarap lahan sejak tahun 1968 lalu dan secara turun temurun sampai dengan saat ini.

“Kemudian pada tahun 2021 terbitlah sertifikat atas nama orang lain tanpa sepengetahuan masyarakat penggarap,” ungkapnya.

“Sementara itu, masyarakat tidak pernah merasa mengalihkan lahan tersebut kepada orang lain baik sewa menyewa maupun melakukan jual beli,” sambungnya.

Menurutnya, masyarakat petani penggarap lahan juga paham bahwa tanah yang mereka garap merupakan wilayah kehutanan Register 38 Gunung Balak. Selain itu, masyarakat juga tidak pernah mengetahui dan melihat adanya aktifitas pengukuran yang dilakukan oleh BPN Lampung Timur.

“Masyarakat penggarap baru mengetahui lahan tersebut telah terbit sertifikat pada tahun 2021 ketika ada seseorang yang tidak dikenal datang membawa bukti SHM dan meminta penggarap untuk membayar SHM tersebut,” bebernya.

Sumaindra menerangkan, masyarakat mengira lahan yang mereka garap masuk ke dalam kawasan hutan register 38 Gunung Balak, sehingga masyarakat tidak berupaya atau tidak pernah melakukan pengurusan secara administratif dengan melakukan pendaftaran tanah ke Kantor BPN Lampung Timur.

Dikatakan Sumaindra, ada lebih dari 264 kepala keluarga (KK) dari 8 desa di Lampung Timur yang menjadi korban. Di mana, mayoritas penggarap berasal dari Desa Sripendowo.

“Masyarakat penggarap juga kerap kali didatangi oleh oknum-oknum yang mencari lahan dengan menunjukkan kepemilikan SHM yang terbit pada tahun 2021,” kata dia.

Dalam persoalan dugaan mafia tanah ini, diungkapkan Sumaindra masyarakat juga menerima intimidasi dengan bentuk dipaksa untuk membayar sertifikat dengan nominal uang sebesar Rp 150 juta hingga Rp 200 juta sesuai dengan luas lahan yang digarap.

“Jika enggan membayar masyarakat penggarap diancam akan dilaporkan ke pihak kepolisian atas penyerobotan lahan,” tandasnya.

Sementara itu, hingga siang ini ratusan masyarakat dan petani masih melakukan aksi unjuk rasa di depan Kantor BPN Lampung, guna meminta kejelasan dari pejabat BPN Lampung. (Sumber)