News  

Lima Anomali Jokowi

Joko Widodo, atau galib dipanggil Jokowi, merupakan sebuah anomali di pentas politik di Indonesia pasca reformasi. Sejak awal kehadirannya dalam pemilihan kepala daerah langsung (pilkada) di Solo pada 2005 hingga kini, saat mengakhiri masa kepresidenannya pada 2024, Jokowi menorehkan sejumlah “ketidaknormalan; penyimpangan dari normal; kelainan”—demikian arti kata anomali menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Anomali bisa bermakna positif atau negatif. Tulisan ini akan coba membuat tinjauan singkat, baik sisi positif maupun negatif, khususnya sejak awal Jokowi menjadi Presiden Republik Indonesia pada 2014 hingga saat jelang mengakhiri masa kepemimpinannya sebagai presiden pada 2024. Tulisan ini akan menyajikan lima argumen mengenai “Anomali Jokowi” dan diakhiri dengan penutup dan refleksi.

1. Anomali Pertama

Presiden Jokowi usai bermain bola bersama anak-anak di Lapangan Gamplong, Kapanewon Moyudan, Kabupaten Sleman, Sabtu (27/1/2024). Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan
Presiden Jokowi usai bermain bola bersama anak-anak di Lapangan Gamplong, Kapanewon Moyudan, Kabupaten Sleman, Sabtu (27/1/2024). Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan

Jokowi merupakan presiden pertama di Indonesia yang berlatar belakang kepala daerah. Jokowi mengawali karier politiknya dengan terpilih sebagai Wali Kota Solo pada 2005 yang dilanjutkan dengan periode kedua pada 2010. Karena keberhasilannya memimpin di Solo, hingga terpilih dengan perolehan suara lebih dari 90 persen dalam pilkada 2010, Jokowi dicalonkan sebagai kandidat Gubernur DKI pada pemilihan gubernur pada 2012 dan terpilih. Selanjutnya pada 2014 dan 2019 Jokowi dicalonkan sebagai kandidat presiden dalam pilpres dan berhasil terpilih, pertama berpasangan dengan Jusuf Kalla (2014-2019) dan kedua dengan KH. Ma’ruf Amin (2019-2024).

Rekam jejak Jokowi sebagai kepala daerah itu berbeda dengan presiden sebelumnya di Republik Indonesia. Presiden pertama, Soekarno, berlatar belakang aktivis pergerakan kemerdekaan. Presiden kedua, Soeharto, merupakan tentara Angkatan Darat (AD) yang berpangkat letnan jenderal saat dikukuhkan sebagai presiden pada 1966. Presiden ketiga, BJ. Habibie, berlatar belakang akademisi dan menjadi presiden pada 1998-1999 menggantikan Presiden Soeharto yang mengundurkan diri. Presiden keempat, KH. Abdurrahman Wahid, merupakan aktivis sosial keagamaan dan menjabat sebagai Ketua Umum PBNU saat terpilih dalam Sidang Umum (SU) MPR 1999.

Presiden kelima, Megawati Soekarnoputri, berlatar belakang ibu orang tangga dan Ketua Umum PDIP saat menggantikan Gus Dur pada tahun 2001-2004. Presiden keenam, Susilo Bambang Yudhoyono, berlatar belakang tentara AD berpangkat jenderal saat terpilih dua kali sebagai presiden pada pilpres 2004 dan 2009.

Latar belakang Jokowi sebagai kepala daerah yang menjadi calon presiden diikuti oleh Anies Rasyid Baswedan dan Ganjar Pranowo pada pilpres 2024. Anies sebelumnya menjabat sebagai Gubernur DKI (2017-2023) sedang Ganjar menjabat sebagai Gubernur Jawa Tengah dua periode (2013-2023). Menarik untuk dilihat apakah keduanya berhasil mengalahkan kandidat lain presiden yang berlatar belakang militer yaitu Prabowo Subianto.

2. Anomali Kedua

Presiden Jokowi memberikan sambutan di Rakernas PDIP IV. Foto: PDIP
Presiden Jokowi memberikan sambutan di Rakernas PDIP IV. Foto: PDIP

Jokowi merupakan presiden pasca reformasi yang mendapat dukungan masif dari kelompok ‘relawan’ dalam kontestasi demokrasi elektoral. Sebelum dan saat dicalonkan oleh PDIP pada pilpres 2014, Jokowi, yang bukan ketua umum partai, mendapat dukungan masif dari kelompok pendukung non-aktivis partai politik atau galib disebut sebagai ‘relawan’.

Kelompok relawan ini telah mulai mengorganisasikan diri sejak pemilihan gubernur DKI pada 2012 dan merupakan salah satu kunci kemenangannya mengalahkan petahana Dr. Fauzi Bowo. PDIP sebagai partai pengusung mendapat tekanan dari berbagai kelompok relawan untuk mencalonkan Jokowi sebagai kandidat presiden sebelum pemilihan legislatif pada Pemilu 2014 (Kompas, 16/2/2014).

Fenomena relawan politik dalam pilpres ini bahkan mengilhami Kristin Samah dan Fransisca Ria Susanti menulis buku berjudul “Berpolitik Tanpa Partai, Fenomena Relawan dalam Pilpres” (2014, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama).

Dengan kata lain, pilpres 2014 merupakan merupakan momentum penting ketika gerakan politik kepartaian bertemu dan bersinergi dengan gerakan sosial di panggung utama politik Indonesia dan menghasilkan pemimpin baru: Jokowi, yang sempat ditampilkan di sampul majalah Time dengan tulisan “A New Hope”—mengingatkan pada sosok Barack Obama.

Dalam konteks sejarah politik, saat pemilihan Presiden Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri, melalui Sidang Umum (SU) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada 1999 dan Sidang Istimewa (SI) MPR pada 2001, fenomena relawan politik belum hadir. Pada waktu itu keputusan hanya diambil oleh anggota MPR yang berjumlah sekitar 700 orang.

Fenomena relawan baru muncul pada pemilihan presiden secara langsung pertama pada 2004, namun dalam skala lebih kecil dan terbatas. Waktu itu, pilpres memilih Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla (SBY-JK) sebagai presiden dan wakil presiden.

Perbedaan lain, karakter relawan politik pada masa itu hanya berumur relatif pendek dan tidak terorganisir secara rapi. Sementara relawan Jokowi masih hadir bertahan dan ikut berperan aktif dalam kontestasi politik di pilpres 2024. Pimpinan relawan Projo (Pro-Jokowi), Budi Arie Setiadi, bahkan diangkat menjadi Menteri Komunikasi dan Informatika RI pada 2023 hingga kini.

3. Anomali Ketiga

Putra sulung dan menantu Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka dan Bobby Nasution saat menemui Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. Foto: Dok. Istimewa
Putra sulung dan menantu Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka dan Bobby Nasution saat menemui Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. Foto: Dok. Istimewa

Jokowi merupakan presiden yang saat berkuasa membangun ‘dinasti politik’ melalui instrumen politik elektoral, dengan terpilihnya putera sulungnya Gibran Rakabuming Raka sebagai Wali kota Solo dan menantunya Bobby Nasution sebagai Wali kota Medan pada tahun 2021. Keduanya terpilih melalui kontestasi politik elektoral atau melalui pemilihan kepala daerah secara langsung.

Hal ini berbeda dengan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), putera sulung Susilo Bambang Yudhoyono, yang mencalonkan diri sebagai Gubernur DKI pada pemilihan gubernur pada 2016 ketika sang ayah sudah lengser dari kepresidenan. Hal serupa juga terjadi dengan Puan Maharani, puteri Megawati Soekarnoputri, yang baru mencalonkan diri sebagai anggota DPR RI pada 2009 ketika sang ibu sudah tidak lagi menjabat sebagai Presiden RI. Sedangkan Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas), adik AHY, mulai mencalonkan diri sebagai anggota DPR RI daerah pemilihan Jawa Timur VII pada 2009 saat sang ayah, SBY, masih menjabat sebagai presiden.

Fenomena politik dinasti sebenarnya cukup lazim di Indonesia di ranah partai politik. Di PDIP misalnya, dua anak Megawati menjadi petinggi di partai tersebut: Puan Maharani dan Muhammad Prananda Prabowo. Di Partai Demokrat, dua putera SBY menduduki jabatan penting: AHY sebagai Ketua Umum (2020-2025) dan Ibas sebagai Sekjen (2010-2015) dan Ketua Fraksi Demokrat di DPR RI pada 2014-2019 dan 2019-2024.

Di Partai Nasdem, Prananda Surya Paloh, putera sang Ketua Umum, juga menjabat sebagai Ketua Umum DPP Garda Pemuda Nasdem sejak 2017 dan menjadi Ketua Bidang Pemuda di DPP Nasdem, selain menjadi anggota DPR RI sejak 2014. Sementara di Partai Umat yang dibidani kelahirannya oleh Amien Rais, mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah dan tokoh reformasi, jabatan Ketua Umum dijabat oleh menantunya, Ridho Rahmadi. Sementara Hanum Salsabila Rais menjadi calon anggota legislatif Partai Umat di DIY dalam pemilu 2024.

Lebih menarik lagi, seperti jamak diketahui, Gibran Rakabuming Raka saat ini dicalonkan sebagai Wakil Presiden berpasangan dengan calon presiden Prabowo Subianto. Pencalonan Gibran diiringi oleh ‘kasus’ di Mahkamah Konstitusi (MK), karena pencalonannya terbuka peluangnya melalui Putusan MK yang dipimpin oleh Anwar Usman, Ketua MK yang juga paman Gibran.

Putusan MK itu membolehkan calon yang berumur di bawah 40 tahun asal memiliki pengalaman sebagai kepala daerah. Hal itu menjadi pintu masuk bagi Gibran yang berumur 36 tahun untuk menjadi kandidat wakil presiden. Belakangan, Anwar Usman diberhentikan dari jabatan sebagai Ketua MK oleh Majelis Kehormatan (MK) MK karena dianggap melakukan “pelanggaran etik berat”. Kisah ini tentu menjadi catatan dan cacatan serius bagi Jokowi di akhir masa kepresidenannya.

4. Anomali Keempat

Presiden Jokowi meninjau perkembangan pembangunan Kantor Presiden di IKN. Foto: Vico - Biro Pers Sekretariat Presiden
Presiden Jokowi meninjau perkembangan pembangunan Kantor Presiden di IKN. Foto: Vico – Biro Pers Sekretariat Presiden

Jokowi merupakan presiden yang berani membuat keputusan politik besar: membangun Ibu Kota Negara (IKN) baru jauh dari pulau Jawa, di Kalimantan Timur. Ini sebuah keputusan politik besar yang tidak mungkin tuntas dalam kurun pendek; diperkirakan ibukota baru akan diselesaikan dalam 15-20 tahun. Rencana ini mulai digodok pada 2019, namun kemudian terhalang oleh pandemi pada 2020 dan baru mulai dilaksanakan setelah pengesahan UU no. 3/2022 pada 15 Februari 2022.

Kenekadan Jokowi untuk membuat keputusan besar yang mulai digagas sejak 1957 oleh Presiden pertama Soekarno mengokohkan Jokowi sebagai figur “new developmentalisme” yang berfokus pada infrastruktur dan deregulasi seperti disampaikan oleh Eve Warburton dalam artikelnya “Jokowi and the New Developmentalism” (2016).

Karena berani membuat rencana besar yang kontroversial ini, Jokowi membuat strategi politik jangka panjang untuk ‘mengamankan’ sejumlah agenda prioritasnya, termasuk strategi industrialisasi ‘hilirisasi mineral’ dan membangun kedaulatan pangan melalui ‘food estate’. Nah, inilah yang membuat Jokowi melakukan ‘cawe-cawe’ dalam pemilihan kepemimpinan nasional berikutnya.

Seperti yang disampaikan di Sekolah Partai PDIP pada 6 Juni, baginya merupakan tanggung jawab moral untuk mengawal transisi kepemimpinan bisa berjalan dengan baik dan memastikan trajektori Indonesia sebagai negara maju. Bagi Guntur Soekarno, putera sulung Bung Karno, keputusan Jokowi untuk membangun IKN dan politik hilirisasi mineral merupakan realisasi prinsip Trisakti Tavip yang diajarkan oleh Presiden Soekarno (Kompas, 30 September 2023).

Seperti disampaikan di berbagai forum, Jokowi concern pada problem Indonesia saat ini yang berada dalam ‘jebakan penghasilan menengah’ (middle income trap) dan satu-satunya cara untuk keluar dari perangkap tersebut melalui akselerasi pembangunan dan industrialisasi khususnya di saat Indonesia sedang mengalami ‘bonus demografi’ (demografic dividend).

Obsesi ‘new developmentalism’ ala Jokowi inilah yang tampaknya membuat dirinya nekat untuk mengambil sejumlah kebijakan bercorak otoritarian yang tidak popular dan mengundang kritik luas, termasuk pembuatan UU Cipta Kerja, revisi UU KPK, dan lain-lain. Ini semua membuat sejumlah akademisi menulis “Democracy in Indonesia: from stagnation to regression” (Thomas Power & Eve Warburton, 2020).

5. Anomali Kelima

Menkeu Sri Mulyani mendampingi Presiden Jokowi saat KTT LB G20 dari Istana Bogor, Kamis (26/3). Foto: Biro Pers Sekretariat Presiden/Muchlis Jr
Menkeu Sri Mulyani mendampingi Presiden Jokowi saat KTT LB G20 dari Istana Bogor, Kamis (26/3). Foto: Biro Pers Sekretariat Presiden/Muchlis Jr

Jokowi merupakan presiden yang pada penghujung akhir periode kekuasaannya masih memiliki pengaruh, instrumen, dan jejaring politik yang kuat. Hal ini terlihat pada masih tingginya angka kepuasan publik terhadap kepemimpinan Presiden Jokowi seperti yang ditemukan oleh sejumlah survei publik.

Lembaga Indikator Politik, misalnya, menemukan bahwa tingkat kepuasan publik terhadap Jokowi sebesar 79,3 persen pada survei Januari 2024. Sementara Populi Center pada Februari 2024 ini melaporkan angka 80 persen angka kepuasan publik terhadap pemerintah Jokowi.

Angka serupa juga ditemukan oleh sejumlah lembaga survey kredibel seperti Poltracking, Alvara, dan LSI-Denny JA. Bahkan The Economist dalam sebuah tulisannya berjudul “What will Indonesia look like after Jokowi leaves?” (7/9/2023) menyatakan bahwa Jokowi merupakan presiden dengan dukungan publik tertinggi di dunia yaitu hampir 80 persen, diikuti oleh Presiden India, Narendra Modi, di bawah 60 persen dan Presiden Joe Biden jauh di bawahnya.

Angka tersebut hanya bisa dikalahkan oleh Presiden SBY pada akhir masa kepresidenan pertama pada Juli 2009, yang sempat mendapatkan angka kepuasan publik 85 persen. Dukungan publik besar tersebut mengantarkannya menang satu putaran pada pilpres 2009.

Namun demikian, angka kepuasan terhadap kepemipinan SBY turun drastis hingga angka 51 persen pada bulan Oktober 2013, menjelang dilakukannya pilpres 2014 (Data Indikator Politik 2024). Sementara itu, angka kepuasan terhadap kepemimpinan Presiden Megawati yang ditemukan survei LP3ES pada akhir 2003 berada di bawah 50 persen. Hal tersebut tampaknya berkontribusi pada kekalahannya melawan SBY-JK dalam pilpres 2004, saat berpasangan dengan KH. Hasyim Muzadi, Ketua Umum PBNU.

Selain angka kepuasan publik yang tinggi, pada akhir kepresidenannya pada tahun 2024 Presiden Jokowi memiliki 271 kepala daerah yang ditunjuknya sebagai pejabat sementara sebelum pelaksanaan pilkada serentak pada November 2024. Menurut Katadata, pada 2022-2023 terdapat 271 kepala daerah sementara yang ditunjuk oleh presiden Jokowi yang terdiri dari 24 gubernur, 56 wali kota, dan 191 bupati.

 

Hal ini membuat, alih-alih tak berdaya di masa akhir kekuasannya, Presiden Jokowi justru sangat kuat karena memiliki jejaring kekuasaan di 271 daerah tersebut. Hal tersebut berpotensi mempengaruhi proses dan hasil pilpres 2024 seperti disinyalir film documenter “Dirty Vote” yang diproduksi oleh Watchdog.

Penutup dan Refleksi

Lima anomali tersebut tampaknya membuat Presiden Jokowi menjadi istimewa, baik dalam arti positif maupun negatif. Berdasarkan atas lima tesis tersebut, tulisan ini akan ditutup dengan dua catatan reflektif. Pertama, dalam pilpres 2024 “faktor Jokowi” tampaknya merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi hasil pemilihan presiden.

Kedua, apa pun hasil pilpres 2024, periode ini merupakan pertaruhan amat besar bagi Jokowi: apakah dirinya akan tercatat dalam sejarah dengan warna cemerlang atau kelam. Dua refleksi tersebut akan diuraikan di bawah ini.

Pertama, karena “faktor Jokowi” masih merupakan salah satu faktor penting dalam pilpres 2024, maka kandidat yang dianggap sebagai “penerus Jokowi” tampaknya berpeluang mendapat dukungan publik besar. Sebaliknya, kandidat yang diasumsikan sebagai “antithesis” atau “oposisi” dari Jokowi hanya bisa mengeruk dukungan dari ceruk massa yang relatif terbatas.

Pasangan capres-cawapres nomor 1 Amin (Anies-Muhaimin) yang mengusung tagline “perubahan”, misalnya, tampaknya sulit mendapatkan dukungan yang besar ketika angka kepuasan terhadap kepemimpinan Jokowi masih tinggi. Sementara bagi pasangan nomor 03 Ganjar-Mahfud, beralihnya dukungan politik dari Presiden Jokowi tampak mengurangi pendukungnya secara signifikan. Dukungan terhadap pasangan ini sempat mencapai angka 37,4 persen pada bulan Agustus 2023 tapi kemudian menurun secara drastis hingga ke angka 21 persen pada Januari 2024.

Perubahan tersebut tampaknya terkait dengan naiknya dukungan kepada pasangan nomor 02, Prabowo-Gibran, yang dianggap sebagai “penerus Jokowi”. Pasangan ini pada Agustus 2023 hanya mendapatkan dukungan 33,2 persen namun terus menanjak hingga ke 48 persen pada Januari 2024 (Data Indikator Politik 2024).

Apakah trend tersebut akan tetap berlangsung dan berpengaruh terhadap pemilihan presiden pada 14 Februari mendatang? Entahlah.

Kedua, apa pun hasil pilpres 2024 nasib Jokowi bakal berada dalam pertaruhan besar, antara dianggap sebagai “pengkhianat demokrasi Indonesia” atau “pahlawan kemajuan nasional”. Jika terbukti pasangan Prabowo-Gibran menjadi pemenang dalam pilpres 2024 dan mampu mengawal dan sukses menjalankan sejumlah agenda strategis Jokowi seperti pembangunan IKN, hilirisasi industri mineral, dan ‘food estate’, maka Jokowi bisa dikenang sebagai “pahlawan kemajuan nasional” dan bahkan model bagi good governance bagi dunia (Mahbubani 2021).

Namun, jika ternyata agenda strategis tersebut gagal diwujudkan dan bahkan hanya menjadi ajang ‘bancakan korupsi’, maka tak ayal Jokowi akan dicatat dan dikenang sebagai “pengkhianat demokrasi Indonesia”.

Apalagi jika kemungkinan terakhir yang terjadi, meski kemungkinannya terkecil, bahwa: pasangan 02 yang menjadi “penerus Jokowi” berhasil dikalahkan dalam pilpres 2024, maka Jokowi bisa terpuruk ke dalam pusaran sejarah. Apa yang akan terjadi pasca pilpres 2024 mendatang? Wallahu’alam bishshawab.

(Sumber)