News  

Warga Non Muslim AS Lebih Suka Makanan Halal Karena Sehat dan Higienis

Riset di Millersville University, Pennsylvania, tahun 2018 menunjukkan ketertarikan warga non-muslim di Amerika Serikat terhadap makanan halal.

Hal ini disampaikan Kedutaan Besar Amerika Serikat untuk Indonesia dalam acara daring “Komunitas Muslim dan Budaya Makanan Halal di Amerika Serikat,” Kamis (21/3).

Riset yang dilakukan oleh Dr. Abdelhadi Halawa itu berjudul “Akulturasi Makanan Halal menjadi Budaya Makanan Amerika”. Ia menemukan bahwa warga non-muslim di AS menganggap makanan halal sebagai makanan yang natural, asli, etis, sehat, dan higienis.

Dalam acara tersebut, Sururoh Tullah Uthman, peserta program pertukaran Community Engagement Exchange (CEE), turut membagikan pengalamannya tinggal di AS.

“Aku sebagai muslim di AS nggak pernah merasa terdiskriminasi, orang berkerudung juga banyak di mana-mana. Meski nggak semua berpuasa, tapi hebatnya mereka sangat menghargai orang yang berpuasa,” ungkap perempuan yang akrab disapa Ruru itu.

Selama tinggal di Washington DC, Ruru juga tidak pernah merasa kesulitan mencari makanan halal. Ia menemukan banyak toko daging dan restoran bersertifikasi halal.

Senada dengan riset Dr. Abdelhadi, Ruru mengaku banyak orang non-muslim AS yang ikut memenuhi restoran halal.
“Jangan dibandingkan dengan Indonesia, jumlah restoran dan truck halal di AS memang masih sedikit dan lebih mahal. Tapi sekarang sudah tumbuh dan kami sangat bersyukur. Kami bisa makan dengan merasa aman,” tambahnya.

Saat ditanya soal ruang ibadah untuk salat, Ruru merasa tak ada kesulitan.
“Di kampus dan kantor biasanya ada prayer room untuk gabungan semua agama. Tapi bisa salat di taman, dan itu sangat normal nggak ada larangan. Atau bisa juga salat di mobil.”

“Di sini kita harus open minded karena AS bukan negara muslim, jadi harus memaklumi kalau kita bisa salat dengan cara apa pun,” tambahnya.

Menyambut perayaan 75 tahun hubungan AS-Indonesia tahun ini, Kedubes AS berupaya untuk meningkatkan pemahaman tentang keberagaman dan kebebasan beragama. Pengalaman Dr. Abdelhadi dan Ruru diharapkan dapat menjadi kisah inspiratif keberagaman di AS.

(Sumber)