News  

Lolosnya Sang Penakluk BLBI

Selasa malam kemarin (9/07/2019), saya selaku salah satu tim Penasehat Hukum Syafruddin Arsyad Temenggung, bersama Ahmad Yani dan ditemani oleh Syahganda Nainggolan tengah duduk santai di coffee shop Paloma Hotel di kawasan Menteng, Jakarta.

Ada ketenangan dan kegembiraan yang terasa di tempat ini. Sebuah irama malam yang tercipta dari kesunyian sepinya pengunjung Bistro itu. Malam kemarin itu adalah saat penantian bagi kami menanti persiapan pelepasan Syafruddin Arsyad Temenggung (SAT), Terdakwa perkara Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

Mahkamah Agung (MA) memutus lepas mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang dibacakan oleh tiga hakim sidang kasasi yang memeriksa perkara misrepresentasi dalam penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada Bank Dagang Nasional (BDNI) milik Syamsul Nursalim yang dibacakan pada Selasa (9/07/2019).

Sikap dan pendapat tiga Majelis Kasasi satu sama lain saling berbeda pendapat. Satu Hakim berpendapat SAT harus dihukum sebagai perbuatan tindak pidana korupsi sesuai putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Namun, 2 hakim anggota lain berpendapat perbuatan SAT menanda tangani SKL masuk dalam ranah perdata dan hukum administrasi.

Putusan Kasasi ini membatalkan putusan Pengadilan Tingkat Pertama dan Tingkat Banding. Memang dalam putusan sebelumnya, Majels Hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menilai SAT telah bersalah sebagai tindak pidana korupsi dengan menaikkan pidana dari 12 tahun menjadi 15 tahun penjara.

Putusan Kasasi itu merupakan penantian panjang bagi seorang SAT dalam menggapai keadilan di Republik ini. Kendati dua kali terhadang jerat hukum, akhirnya SAT lolos dari jeratan penjara.

Urusan perkara BLBI ini memang sangat runyam. Kejaksaan Agung pernah pula sebelumnya mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) kepada para debitur dengan dasar SKL yang telah diterbitkan oleh BPPN berdasarkan Inpres No. 8 Tahun 2002 tentang pemberian jaminan kepastian hukum kepada debitor yang telah menyelesaikan kewajibannya atau tindakan hukum kepada debitur yang tidak menyelesaikan kewajibannya berdasarkan pemeriksaan penyelesaian kewajiban pemegang saham (PKPS).

Inpres itu dikeluarkan pada saat kepemimpinan Presiden Megawati. Berdasarkan Inpres tersebut, debitur BLBI sudah bisa dianggap menyelesaikan hutangnya meski baru melunasi 30 persen dari jumlah kewajiban pemegang saham dari bentuk tunai & 70 persen sisanya dibayatkan dengan sertifikat bukti hak yang diserahkan kepada BPPN. Dalam hukum, upaya pengembalian tersebut bersifat keperdataan atau penyelesaian di kuar pengadilan (out of court settlement) yang dapat dilakukan oleh pemerintah dengan cara meminta para pemegang saham yang menjadi obligor untuk membayar sisa kewajiban bank setelah dikurangi aset bank beku operasi. PPKS tersebut ditagih dapat berupa master of settlement and acquisition (MSAA), & master refinancing and note issuance agreement (MRNIA) atau dalam bentuk Akta Pengakuan Utang (APU). Sebagai produk yang ditelurkan oleh pemerintah model penyelesaian tersebut daoat dinyatakan sah sesuai kwtentuan perundang-undangan yang berlaku.

Melihat kenyataan yang terjadi di tengah masyarakat, maka perlu pula masyarakat dipahami terkait dengan makna & tujuan keduanya dari ketiga perjanjian yang dibuat pemerintahbdalam upaya penyelesaian hutang obligor BLBI. Sebab bukan tidak mungkin masyarakat yang selama ini telah terlanjur mencap oara obligor tersebut sebagai koruptor lantaran sejatinya tidak mengetahui sama sekali fungsi dari ketiga bentuk perjanjian tersebut. Dari puluhan obligor BLBI, ada beberapa yang bersikap kooperatif & ada sama sekali tak mau kooperatif. Sehingga perlakuan terhadap masing-masing tentu berbeda pula.

Sedangkan bagi kalangan debitor itu sendiri kondisi ini dirasakan sangat dilematis. Sebagian besar dari mereka merasa telah dikorbankan oleh pemerintah pada masa itu lantaran telah melunasi kewajiban hutang mereka. Oleh sebab itu, para ahli hukum bersepakat bahwa MSAA, MRNIA dan APU merupakan dokumen hukum yang diterbitkan dalam rangka penyelesaian perkara BLBI sebagai kebijakan negara yang sah, final & mengikat.

Hal itu memberikan dasar bagi terciptanya kepastian hukum terutama yang berkaitan dengan proses pengembalian aset negara dari para debitor BLBI.

Dalam model penyelesaian MSAA yang merupakan usulan BPPN apabila debitur telah menyelesaikan kewajibannya dan mendapatkan pembebasan (release and discharge) yang tak terpisahkan dari MSAA sebagai perjanjian induk sehingga dapat dinyatakan sudah selesai atau dalam isyilah MSAA disebut closing. Konsekuensinya, pejabat negara tidak dapat dituntut secara perdata maupun pidana sepanjang kebijakan yang diambil tersebut tidak bertentangan dengan MSAA tersebut.

Kembali kepada pembebasan SAT. Sebelumnya, KPK telah mendakwa SAT telah menguntungkan diri sendiri atau korporasi yang telah menyebabkan kerugian negara berdasarkan audit BPK sebesar 4,58 triliun.

Dari fakta-fakta persidangan yang digelar dalam perkara ini, terbukti bahwa kerugian sebesar 4,58 triliun itu ternyata diperoleh bukan dari adanya kewajiban debitor yang belum dibayarkan, namun 4,58 triliun adalah hutang ribuan petani tambak yang belum diselesaikan.

Tiga saksi yang hadir dalam persidangan a quo yang dihadirkan KPK yakni mantan Menkeu periode 1998-199, Bambang Subianto, Ketua BPPN periode 1998-2000, Glebn M. Yusuf & waklinya Farid Harianto, semuanya mengakui terdapat kebijakan negara berupa MSAA maupun R&D yang diterbitkan bagi Syamsul Nursalim dalam kapasitasnya sebagai pemegang saham pengendali Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI). Ketiga saksi utama dalam persidangan a quo memberikan keterangan kepercayaan (good faith) pemerintah terhadap Syamsul Nursalim adalah dasar diterbitkan MSAA & R&D.

Menurut dokumen yang ada, Syansul Nursalim menjamin dalam kapasitasnya sebagai pribadi. Sedangkan yang berkaitan dengan kredit oara petambak Dpasena sebesar 4,58 triliun itu yang menjamin adalah dua perusahaan, yaitu PT. Dipasena Citra Darmaja (PT. DCD) & PT. Wahyuni Mabdira (PT. WM). Kemudian hari guna memudahkan penyelesaian hutang ribuan petani tambak bersama BPPN membentuk perusahaan induk bernama PT. Tunas Sepadan Investama (PT. TDI).

Kendati dalam kebijakan MSAA & R&D terdapat klausula tentang misrepresentasi yang terjadi bilamana terdapat perbedaan antara MSAA dengan kenyataan di lapangan maka tetap saja kebijakan tersebut tak bisa dibatalkan atau direvisi begitu saja melainkan mesti melalui putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

Dengan demikian, toh pemerintah termasuk BPPN mauoun Menteri Keuangan telah menegaskan bahwa perjanjian MSAA-BDNI trlah selesai oada tanggal 25 Mei 1999 & juga trlah diperkuat oleh hasil audit investigasi BPK-RI oada 31 Mei 2002 yang menyatakan MSAA-BDNI telah selesai.

Lalu di mana kesalahan SAT? KPK telah mendakwa SAT telah melakukan ceroboh menanda tangani SKL bagi Syamsul Nursalim dengan mengabaikan adanya misrepresentasi hutang ribuan petani tambak Dipasena sebesar 4,58 triliun. Padahal, dalam audit investigasi KPK-RI tanggal 31 Mei 2002 telah dinyatakan selesai. Penegasan itu kembali diiperkuat dalam Berita Acara Serah Terima (BAST) dari SAT selaku Kepala BPPN kepada Menkeu, Sri Mulyani saat pembubaran BPPN tahun 2004 disebutkan secara jelas hak tagih BPPN terhadap hutang BDNI sebesar 4,58 triliun diserahkan kepada Menkeu.

Selepas pembubaran BPPN kemudian berdasarkan keputusan sidang kabinet pada awal Februari 2006 pemerintah membentuk Perusahaan Pengelola Aset (PPA)

Justru masalah muncul tahun 2007 ketika tiga tahun selepas pembubaran BPPN. Aset Dipasena yang seharusnya bernilai 4,3 triliun dijual hanya dengan harga 220 miliar kepada Konsorsium Neptune. Penjualan aset Dipasena yang dijaminkan kepada BDNI tersebut dilakukan melalui PPA atas perintah & persetujuan Menkeu era itu yakni Jusuf Anwar & Sri Mulyani.

KPK kemudian membebankan selisih nilai aset sebesar 4,3 triliun dikurang nilai penjualan sebesar 220 miliar itu kepada SAT sebagai pihak yang paling bertanggung jawab. Secara logika sederhana, pembebanan tanggung jawab menjadi aneh & tak masuk akal sehat. Mana mungkin BPPN yang sudah dibubarkan tahun 2004 harus bertanggung jawab terhadap penjualan aset yang sangat murah di mana tempus delicti-nya terjadi tahun 2007?

Oleh sebab itu, putusan majelis hakim MA bukan suatu hal yang aneh & luar biasa. Misrepresentasi yang merupakan bagian dari MSAA merupakan ranah perdata & hukum administrasi di mana penyelesaian harus dilakukan di luar pengadilan (ultimum remedium). Independensi hakim jelas tak bisa diganggu gugat. Tapi, bila ditemukan oraktik suap dibalik putusannya, sudah semestinya Badan Pengawas Mahkamah Agung atau Komisi Yudisial bisa langsung memeriksa ketiga hakim pemutus perkara.

Sebaliknya, Mahkamah Agung telah pula bersikap proaktif dengan mempersilakan KPK apabila tak puas dengan putusan kasasi agar dapat menempuh jalur Peninjauan Kembali.

Selain itu pula, kelak Mahkamah Agung mesti berani menggelar persidangan terbuka dalam kasus upaya hukum luar biasa, seperti kasasi & Peninjauan Kembali terutama terhadap kasus-kasus megakorupsi yang menyita perhatian & rasa keadilan publik. Dengan begitu, akan tercipta kepercayaan & kepuasaan publik dalam menanggapi putusan yang diambil.

Andi W. Syahputra