News  

Gawat! Pasar CPO Indonesia di Uni Eropa Bakal Direbut Malaysia

A cross section of a palm oil fruit bunch is seen at a Yuzana Group palm oil plantation near Kawthaung, Tanintharyi Region, Myanmar, on Tuesday, Nov. 15, 2016. Palm oil futures have surged 15 percent this year on their way to the biggest annual gain since 2010 on concerns weak output in Malaysia and Indonesia, where trees are still recovering from an El Nino-induced drought, will tighten inventories of the world's most-traded vegetable oil. Photographer: Taylor Weidman/Bloomberg

Hambatan Uni Eropa (UE) terhadap biodiesel Indonesia melalui rencana pengenaan bea masuk antisubsidi (BMAS) berpeluang membuat Malaysia mampu mengambil alih peran RI dalam mengisi kebutuhan produk tersebut di Benua Biru.

Ketua Umum Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) Master P. Tumanggor menjelskan, hal tersebut bisa terjadi karena hingga saat ini, baru Indonesia yang akses produk biodiesel berbasis minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO)-nya dihambat oleh UE.

“Bisa saja kinerja ekspor biodiesel kita kalah dari Malaysia. Negara tersebut juga bisa masuk mengisi celah yang kita tinggalkan di UE. Namun, UE selama ini tidak mengganggu biodiesel Malaysia, lantaran Negeri Jiran itu belum sama sekali mengekspor produk itu ke Eropa,” jelasnya kepada Bisnis.com, Senin (29/7/2019).

Tumanggor mengakui harga biodiesel Malaysia jauh lebih mahal dibandingkan dari Indonesia, sehingga sulit untuk dikenai tuduhan subsidi.

Namun, dia meyakini, apabila Malaysia berhasil memasok biodiesel ke UE, produk tersebut juga akan dikenai hambatan dagang oleh blok negara terbesar Eropa tersebut.

Sebab, menurutnya, UE sedang berusaha menangkal produk CPO dari negara manapun untuk masuk ke kawasannya.

Adapun, Tumanggor sebelumnya telah memprediksi Indonesia dapat mengekspor sekitar 432.000 ton biodiesel ke UE tahun ini.

Namun, target tersebut berpeluang terkoreksi lantaran adanya rencana pengenaan BMAS oleh UE terhadap biodiesel Indonesia.

Ekonom Core Mohammad Faisal mengatakan, pemerintah harus bergerak lebih cepat untuk menyelamatkan pasar ekspor CPO dan produk turunannya ke UE.

Pasalnya, apabila dibandingkan dengan Malaysia, tekanan kinerja ekspor CPO Indonesia jauh lebih besar.

“Malaysia jauh lebih siap menghadapi gempuran UE terhadap CPO karena mereka punya produk manufaktur yang jauh lebih siap diekspor dibandingkan dengan Indonesia. Sementara kita, masih menjadikan komoditas perkebunan tersbeut sebagai sumber utama ekspor. Jadi tidak ada pilihan lain dalam jangka pendek untuk terus memperjuangkan CPO,” ujarnya. [bisnis]