News  

Sering Sindir Jokowi, PDIP Perlu Belajar Ilmu Ikhlas ke Mahfud MD

Lagi, lagi dan lagi PDIP menunjukkan sikap belum move on . Nampaknya partai banteng moncong putih sulit menerima kenyataan bahwa Ganjar Pranowo, jagoannya di Pilpres 2024 hanya mampu meraup suara di kisaran 16 persen saja.

Sejak saat itu, tuduhan nepotisme dan kecurangan terus digaungkan hingga hari ini. Kubu banteng tak ada lelahnya membangun narasi bahwa Jokowi adalah dalang dari kekalahan di Pilpres 2024.

Terbaru, Ketua DPP Djarot Saiful Hidayat menyinggung tingginya nepotisme yang terjadi selama masa pemerintahan Jokowi. Ia menyebut, Jokowi menjadi presiden satu-satunya yang melibatkan anak, menantu, hingga saudara terdekatnya terlibat aktif dalam politik pemerintahan.

“Sambil ini kita melihat sejarah yang perlu dicatat sejarah perpolitikan yang perlu kita catat bersama, sejak masa Pak Jokowi inilah anak-anak dan menantu sama keluarga terdekatnya itu terlibat aktif di dalam politik,” kata Djarot di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (11/7/2024).

Djarot mengatakan hal ini baru kali pertama terjadi. Pasalnya, sejak zaman Soekarno hingga Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) belum pernah anak, menantu hingga saudaranya sekaligus aktif dalam politik praktis. “Sejak Presiden Soekarno, Bung Karno, Pak Harto, Habibie, Gus Dur, Bu Mega, Pak SBY, baru kali ini. Mulai dari anaknya, menantunya, mungkin cucunya, mungkin saudaranya akan disiapkan,” ujarnya.

Bahkan di era Soeharto yang disebut memiliki tingkat nepotisme tinggi sekalipun anak-anaknya tidak terlibat aktif dalam politik. Djarot menyebut mereka hanya terlibat dalam dunia bisnis. “Sekarang ini politik iya, bisnis iya,” ucapnya.

Djarot mengatakan hal ini memang tidak dilarang dalam demokrasi prosedural. Namun, di dalam demokrasi politik itu ada etika dan moral. “Sepanjang itu memenuhi aturan silakan tapi begitu aturan itu direkayasa ini kalau menurut saya cacat etika cacat moral,” ucapnya.

Sebelumnya, Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri juga sempat menyinggung soal kecurangan Terstruktur, Sistematis, dan Masif (TSM). Padahal segala prosedur sudah dilalui, Mahkamah Konstitusi (MK) pun sudah menolak permohonan soal adanya kecurangan TSM, memastikan hasil Pilpres 2024 sudah sah.

Suara sumbang ini Megawati sampaikan dalam pidato politik di Sekolah Partai PDIP, Lenteng Agung, Jakarta Selatan, Jumat (5/7/2024). “Saya bilang lho, (kecurangan Pemilu 2024) TSM memang ada kenapa kalian enggak berani ngomong,” kata Megawati.

Megawati sadar jika pernyataannya ini dapat membawa ia berurusan dengan aparat penegak hukum. Akan tetapi, ia tidak takut lantaran dirinya tahu jika kecurangan tersebut benar terjadi namun bukti-buktinya ditutupi. “Kalau saya ngomong gini lalu wartawan nulis, Ibu Megawati mengatakan itu TSM, saya boleh terus saya mau dipanggil polisi. Orang buktinya (TSM) ada, tapi diumpetin, kan gampang saja lho,” ucapnya.

Megawati lantas meminta seluruh kadernya untuk tidak takut dalam menyuarakan kecurangan yang terjadi. “Loh saya jangan dilupakan, Presiden ke-5 Republik Indonesia menguasai seluruh aparatur negara. Gile, jadi saya terus dipikir enggak tahu, ya tahu isi perutnya,” tuturnya.

Sepertinya PDIP mesti belajar ikhlas dan lapang dada pada bekas cawapres yang pernah diusungnya, Mahfud Md. Eks Menko Polhkam itu sudah berpesan ke semua pihak untuk tak lagi mempermasalahkan soal gelaran dan hasil Pilpres 2024.

Pesan menyejukkan itu disampaikannya ketika mengisi tausiah di acara Gebyar Hijriyah Tahun Baru Islam 1446 H ‘Nusantara Bertamaddun Menuju Indonesia Emas’ di Masjid Istiqlal, Jakarta Pusat, Minggu (7/7/2024).

Ia meminta keinginan mayoritas rakyat dalam memilih pemimpin untuk diakui. Mahfud tak ingin ada lagi yang marah-marah lantaran tak bisa menerima hasil pilpres. Mahfud menyebut, pihak yang kalah mesti lapang dada dan menunjukan sikap beradab. Suka atau tidak suka dengan hasil pemilu, itu sudah kehendak rakyat.

“Keadabannya sudah kita bangun untuk membangun pemerintah itu, ada pemilu, pemilu? Selesai ya sudah. Yang menang harus diakui, jangan marah-marah melulu ndak bisa. Itu tidak berkeadaban namanya. Wong sudah pemilu, lalu merasa paling hebat ternyata tidak terpilih, ya sudah rakyat milih itu. Apa pun variasi yang mendekati, itu harus kita akui, lalu apa? Mari membangun peradaban,” ujar Mahfud.

(Sumber)