News  

Resesi Ekonomi Bikin Badai PHK Hantam Sukabumi, 25 Ribu Buruh Dirumahkan

DPK APINDO Kabupaten Sukabumi mencatat sebanyak 25 ribu buruh atau karyawan di Sukabumi kena PHK atau diberhentikan sejak dari awal resesi ekonomi global sampai akhir tahun 2023.

“Dari jumlah total 62 perusahaan yang terdaftar sebagai anggota DPK APINDO Kabupaten Sukabumi, sekitar 29 perusahaan yang melakukan PHK tersebut yang melakukan efisiensi atau pengurangan karyawannya.

Jadi, dari 62 perusahaan ini, sekitar 70 persen perusahaan bergerak dalam sektor padat karya atau ada 40- an perusahaan (padat karya),” kata Ketua DPK APINDO Kabupaten Sukabumi, Sudarno, Senin (15/7/2024).

Pengurangan karyawan dilakukan sebagai salah satu cara agar perusahaan dapat bertahan. Menurutnya, upaya itu pun dilakukan secara fluktuatif. “Iya, kondisinya ada tambal sulam, seperti ada yang keluar dan ada juga yang masuk kerja buruhnya itu. Jadi, memang belum normal,” ungkapnya.

Selain itu Sudarno menjelaskan sebanyak empat pabrik di Kabupaten Sukabumi mengalami gulung tikar selama 2024 imbas krisis global. Keempat pabrik tersebut bergerak di bidang garmen dan air mineral dalam kemasan (AMDK).

Adapun, keempat pabrik tersebut di antaranya, PT Manito World yang berlokasi di Desa Benda, Cicurug, kemudian PT Pajar Tunggal Nasional di Parungkuda, PT Moda Apparel di Cicurug, dan PT Tirta Mas Lestari di Cicurug.

Dampak krisis ekonomi global masih sangat dirasakan oleh perusahaan padat karya. Menurutnya, permintaan barang masih belum stabil sejak krisis ekonomi global tahun 2023 lalu hingga pertengahan 2024.

“Hal itu merupakan dampak dari pascapandemi COVID-19 dan pascaresesi ekonomi global. Sehingga, masih belum stabil dan pulih ordernya seperti sediakala,” kata Sudarno.

Dia mengatakan, perusahaan di Sukabumi biasanya mendapatkan permintaan pesanan dari negara Eropa dan Amerika. Namun, sudah memasuki dua tahun ini belum ada peningkatan pesanan yang signifikan.

“Terlebih lagi, khususnya di wilayah Kabupaten Sukabumi untuk sektor industri padat karya terjadi pelemahan daya saing dalam mendapatkan order pekerjaan (produksi) dari buyer jika dibandingkan dengan perusahaan sektor industri padat karya yang berada di luar daerah Sukabumi terutama dengan wilayah Provinsi Jawa Tengah yang dapat menerima order dengan harga lebih murah,” ujarnya.

“Sedangkan di wilayah Kabupaten Sukabumi perbedaan nilai upahnya lebih tinggi, sehingga mengakibatkan biaya atau ongkos produksinya juga lebih tinggi,” sambungnya.

Pihaknya berharap, kondisi tersebut tidak terus berlarut-larut sehingga perusahaan dapat stabil dan pekerja mendapatkan hak dan kewajibannya.

“Semoga krisis ekonomi global ini, cepat pulih kembali dan permintaan pasar di negara tujuan ekspor juga pulih kembali. Sehingga, order-order bisa pulih kembali, dan juga persaingan antar daerah dan negara terhadap harga juga bisa bersaing relatif cukup baik, sehingga dunia industri di Kabupaten Sukabumi bisa pulih kembali,” tutupnya.

(Sumber)