Ajaran agama Islam membolehkan penganutnya untuk menjadi orang yang kaya. Karena dengan kekayaan itu seorang Muslim bisa berbuat banyak untuk bekal ibadah dirinya serta untuk kemaslahatan umat.
Namun yang diingatkan adalah jangan sampai kesenangan terhadap harta kekayaan membuat diri terlena hingga melupakan Allah SWT. Jangan sampai menjadi manusia yang sibuk menumpuk-numpuk dunia hanya untuk kesenangan dan foya-foya, sementara melupakan untuk beribadah.
Orang yang terlalu sibuk dengan perkara dunianya akan membuat dirinya lupa akan kematian. Sebagaimana dijelaskan Rasulullah dalam wasiatnya kepada Ali bin Abi Thalib yang dapat ditemukan di dalam kitab Wasiyatul Mustofa yang disusun Syekh Abdul Wahab bin Ahmad bin Ali bin Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Musa Asy Syarani Al Anshari Asy Syafi’i Asy Syadzili Al Mishri atau dikenal sebagai Imam Asy Syarani.
يَا عَلِيُّ، إِيَّاكَ وَعُلَيَّةَ الْمَوْتِ لَا يَذْكُرُوْنَ إِلَّا دُنْيَاهُمْ فَقَالَ عَلِيُّ وَمَا هُمْ يَا نَبِيَّ اللهِ قَالَ الْأَغْنِيَاءُ وَأَصْحَابُ الدُّنْيَا الَّذِيْنَ تَرَاهُمْ مُقْبِلِيْنَ عَلَى جَمْعِهَا كَإِقْبَالِ الْوَالِدَةِ عَلَى وَلَدِهَا وَأُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُوْنَ غَدًا
Artinya: Wahai Ali, jangan sampai engkau menjadi orang-orang yang lupa pada kematian, tidak mengingat kecuali dunianya. Ali bertanya: Siapa orang-orang yang lupa kematian itu ya Rasulullah? Rasul menjawab: Yaitu orang-orang kaya dan punya harta dunia seperti yang engkau lihat. Mereka begitu fokus mengumpulkan dunia seperti seorang ibu yang sedang merawat anaknya. Orang yang seperti itu adalah orang yang merugi di hari esok (akhirat).
Ulama sufi Syekh Abu Bakar Ad-Daqqaq menyampaikan pemaparan tentang tiga faedah saat seseorang mengingat kematian. Dia juga menyampaikan ihwal apa yang akan diterima seseorang ketika lupa akan kematian.
“Siapa yang sering ingat kematian, akan dimuliakan dengan tiga hal, yaitu cepat bertobat, hati yang qana’ah dan semangat dalam beribadah. Dan siapa yang lupa akan kematian, akan diberi sanksi tiga hal, yaitu lambat bertaubat, tidak puas dengan pemberian Allah dan malas beribadah. Karena itu berpikirlah wahai orang yang tertipu akan kematian dan saat-saat yang krusial ketika kamu sedang sekarat,” demikian perkataan Ad-Daqqaq, seperti dikutip dari buku tafsir Kementerian Agama.
Kematian itu suci, sehingga dengan demikian, manusia dilarang menjumpai kematian dengan cara yang terkutuk. Misalnya dengan bunuh diri, atau membunuh orang lain. Bunuh diri dan membunuh orang lain adalah perbuatan terkutuk dan dosa besar. Termasuk menginginkan mati, adalah sesuatu yang tidak terpuji.
Kematian adalah urusan Allah, dan manusia tidak dibenarkan berputus asa. Kematian dan kehidupan diciptakan untuk menguji manusia. Kematian pasti datang pada saat yang telah ditentukan. Dan ketika kematian menjemputnya, tidak ada makhluk yang dapat menghalanginya.
“Katakanlah (Muhammad), ‘Aku tidak kuasa menolak mudarat maupun mendatangkan manfaat kepada diriku, kecuali apa yang Allah kehendaki.’ Bagi setiap umat mempunyai ajal (batas waktu). Apabila ajalnya tiba, mereka tidak dapat meminta penundaan atau percepatan sesaat pun.” (QS Yunus ayat 49)
Allah SWT juga berfirman, “Dan Allah telah menciptakan kamu, kemudian mewafatkanmu, di antara kamu ada yang dikembalikan kepada usia yang tua renta (pikun), sehingga dia tidak mengetahui lagi sesuatu yang pernah diketahuinya. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahakuasa.” (QS An-Nahl ayat 70)
Rasulullah SAW juga telah berpesan tentang faedah mengingat kematian. Beliau SAW bersabda, “Perbanyaklah mengingat sesuatu yang dapat melenyapkan kenikmatan kenikmatan, yakni kematian.” (HR At-Tirmidzi dari Abu Hurairah)
Kematian tidak dilandaskan pada faktor umur, waktu, atau penyakit. Ayat Alquran dan hadits sebagaimana telah disebutkan, menunjukkan bahwa kematian adalah supaya manusia senantiasa siap menghadapinya, kapan pun dan di mana pun.
Persiapan yang dimaksud tentu dengan banyak melakukan amal ibadah di mana pun dan kapan pun. Nabi Muhammad SAW juga mengingatkan untuk selalu memberi manfaat kepada orang lain selama menjalani kehidupan. Beliau SAW bersabda, “Manusia yang terbaik adalah yang paling banyak memberi manfaat kepada orang lain.”