Dia pernah jadi harapan. Namanya bahkan sempat dijadikan sampul majalah Time dengan judul ‘New Hope’. Namun terlalu berharap pada manusia agaknya salah kaprah. Kini yang diharapkan merasa diri seperti Tuhan. Bisa berbuat semaunya dengan mengindahkan rakyat yang juga berkepentingan.
Namanya memang pernah sangat harum. Setidaknya saat ia mengatakan Esemka adalah hasil produksi anak negeri. Atau saat masuk ke gorong-gorong tempat tikus-tikus bersembunyi. Setelahnya, kita hanya bisa melihat berbagai akrobatik politik tanpa nurani. Yang ada hanya bagaimana kepentingannya melenggang. Ternyata, semua hanya persoalan keluarga dan dirinya sendiri.
Padahal dia berkuasa di atas pijakan demokrasi. Yang dibangun di atas darah dan air mata kaum reformis. Sekarang darah dan air mata itu hanya masuk kantongnya. Tertumpuk di antara selipan ratusan kertas yang biasa ia sembunyikan. Agar menjadi rahasia negara saja. Toh generasi masa depan memang harusnya tak memahami sejarah. Biar tak ada rasa cinta terhadap negeri di hati mereka.
Dia dikenal dengan nama Jokowi. Orang yang dianggap sederhana, datang dari desa, bukan siapa-siapa, tapi bisa memimpin kita, bangsa Indonesia. Pada awalnya, Jokowi adalah kita. Dahulu Jokowi membuat kita bangga, bahwa ada orang biasa yang bisa memimpin bangsa. Tetapi pusaran kekuasaan membutakan segalanya. Ahh, tidak! Hanya kita yang buta sebetulnya. Ingin menjadi bangsa besar, tapi mengamanahkan masa depan pada pemimpin berhati kerdil.
Hingga ia rela menginjak ibu yang telah membesarkan namanya. Rumah yang telah menjadi tempatnya bermukim pun dirusak. Kabarnya karena tak diizinkan memimpin tiga periode. Memangnya belum cukup waktu untuk merusak tatanan selama dua periode? Pendukungnya beralibi, di zaman Jokowi, kita merasakan kemajuan. Pembangunan ada di setiap sudut jalan. Lalu mana yang dikatakan membuat kerusakan?
Di awal memimpin, atau tahun 2014, utang Indonesia sebesar Rp 2.608.78 triliun dengan rasio utang terhadap PDB sebesar 24,7 persen. Lalu menjelang akhir periodenya, utang negara ini mencapai Rp 8.338,43 triliun dengan rasio terhadap PDB mencapai 38,71 (data Mei 2024). Jumlah utang naik 400 persen. Ini kemajuan, bagi pendukung Jokowi, utang memanglah harus mengalami perkembangan.
Lalu, indikator juga bisa dilihat dari jumlah kelas menengah RI yang turun. Berdasar data Bank Dunia, pada tahun 2018, kelas menengah sebesar 23% dari jumlah penduduk sedangkan 2019 tersisa 21%. Tahun 2023, kelas menengah terus turun menjadi 17%. Artinya, proyeksi pembangunan infrastruktur dapat mendatangkan manfaat terhadap kesejahteraan ekonomi adalah omong kosong.
Itu baru sebagian dari sisi ekonomi. Bagaimana dari sisi sosial politik? Berdasarkan data Freedom House, indeks demokrasi Indonesia turun dari 62 poin pada 2019 menjadi 53 poin pada 2023. Data Reporters Without Borders (RSF) juga menunjukkan penurunan terhadap skor kebebasan pers Indonesia, yakni dari 63,23 poin pada 2019 menjadi 54,83 poin pada 2023. Penurunan indeks demokrasi ini terjadi seiring dengan cengkeraman penguasa terhadap sendi-sendi kehidupan sosial dan saluran aspirasi masyarakat.
Jokowi yang dibanggakan itu nyatanya membuat peradaban bangsa ini mundur puluhan langkah ke belakang. Kini di akhir masa tugasnya, lakon-lakon mengkhawatirkan lain mulai dimainkan olehnya. Mulai dari dugaan cawe-cawe dalam Pemilu dan Pilpres 2024. Membiarkan anaknya maju sebagai calon wakil presiden saat dirinya masih duduk di kursi presiden. Serta bencana terakhir adalah mencoba mengutak-atik konstitusi demi kepentingan Pilkada.
Dahulu saya pikir, Jokowi adalah politisi jenius. Dia tak pernah kalah dalam setiap kontestasi politik. Nyatanya saya menemukan kesimpulan pada bab akhir jelang kekuasaannya berakhir. Ia bukan jenius. Hanya tak memiliki etika dan moral dalam berpolitik. Presiden-presiden sebelumnya bisa saja melakukan hal yang sama dengan apa yang dilakukan Jokowi. Menempatkan anak-anak mereka dalam tampuk kekuasaan saat masih berkuasa. Tapi presiden-presiden sebelumnya jelas memahami etika dan moral. Hingga hal hina seperti itu tak mereka lakukan.
Agaknya etika dan moral Jokowi turut menular pada sang menantu, Erina Gudono. Di saat banyak PHK dirasakan rakyat. Harga bahan pokok melambung tinggi. Hidup makin terasa sulit. Ia malah memamerkan kemewahan dengan menaiki private jet hingga membeli barang mewah di Amerika. Netizen pun ramai menggunjingnya dan menyamakan perilaku Erina dengan Permaisuri Raja Perancis terakhir, Marie Antoinette.
Semoga bangsa ini baik-baik saja. Seiring 2 periode yang telah dijalani Jokowi. Alih-alih kemajuan yang dicapai, ia justru banyak memberi kemunduran sekaligus menebar permusuhan. Tak terhitung berapa banyak orang yang ia sandera untuk digunakan dan disingkirkan sewaktu-waktu. Saat sudah tak lagi menjabat, ada karma menanti Jokowi. Jadi lebih baik, Jokowi tenang saja, duduk di kursi kayu sambil menunggu karma itu menghampiri. Sebab musuh-musuh bahkan teman baikmu hari ini sedang menyimpan belati di belakang punggung mereka masing-masing. Tenang saja Pak Jokowi!
Oleh Rezha Nata Suhandi
Analis Sosial dan Politik UIN Jakarta