Pemilu 2024 meninggalkan catatan pembelajaran politik yang amat berharga. Khususnya bagi anak bangsa yang ingin “mengundi” nasib melalui partai politik.
Setidaknya ada beberapa nama beken yang membidani partai politik sebagai peserta Pemilu 2024. Siapa tidak kenal Bapak Reformasi, Amien Rais.
Amien Rais gagal mengantarkan Partai Ummat lolos ke Senayan. Bahkan perolehan suara Partai Ummat tak sampai 1 persen. Tepatnya Partai Ummat memperoleh 642.545 suara atau 0,42 persen. Tak sebanding dengan tokoh sekaliber Amien Rais.
Dulu ketika awal Reformasi, “nilai jual” Amien Rais masih tinggi. Tak heran ketika Amien Rais mendirikan Partai Amanat Nasional (PAN) langsung lolos ke DPR. Euforia reformasi ketika itu secara politik menguntungkan PAN dan Amien Rais.
Gagalnya Amien Rais mengantarkan Partai Ummat ke DPR bukan saja karena nama Amien Rais telah kehilangan momentum. Melainkan dukungan logistik menjadi sebuah keniscayaan ditengah makin transaksionalnya pemilih, nomor piro wani piro (“NPWP”).
Demikian pula dengan Hary Tanoesudibjo dengan Partai Perindonya. Dukungan logistik melimpah bukan jaminan bagi Partai Perindo untuk lolos ke DPR. Perolehan suara Partai Perindo di Pemilu 2024 hanya 1,29 persen atau 1.955.154 suara.
Catatan gagalnya Partai Ummat dan Partai Perindo mesti menjadi pelajaran bagi Robi Nurhadi dengan Partai Perubahannya. Partai Perubahan tidak memiliki apa yang dimiliki Partai Ummat dan Partai Perindo, yaitu ketokohan dan logistik.
Untuk menjadi calon anggota legislatif dari Partai NasDem pada Pemilu 2024 saja, Robi Nurhadi gagal. Apalagi untuk mengurus partai politik berskala nasional. Tentu saja perlu dukungan ketokohan dan logistik yang kuat.
Ketokohan Robi Nurhadi di Partai Perubahan masih jauh kalah kelas dengan Amien Rais dan Hary Tanoesudibjo. Jangankan sekelas Amien Rais atau Anis Matta, sekelas Relawan Anies selevel Sahrin Hamid atau La Ode Basir pun, Robi Nurhadi jauh dibawah kedua tokoh Relawan Anies tersebut.
Belum lagi kepengurusan Partai Perubahan yang diinisiasi oleh relawan yang berkantong tipis, miskin pengalaman politik, jaringan terbatas dan tiadanya tokoh nasional yang menjadi pengurus. Bikin partai seperti partai-partaian.
Wajar bila Partai Perubahan banyak memelintir video dan foto Anies Baswedan untuk menarik Relawan Anies di beberapa daerah untuk menjadi pengurus. Cara seperti ini sebenarnya, Robi Nurhadi telah melakukan pembodohan politik terhadap Relawan Anies. Selain juga Robi Nurhadi melakukan kebohongan publik dengan mengedit video dan foto Anies Baswedan tidak sesuai dengan narasi aslinya.
Belum lagi makin transaksionalnya pemilih di Indonesia. Bahkan dimasyarakat berkembang jargon baru “NPWP”, Nomor piro wani piro. Butuh modal tidak sedikit bila Partai Perubahan bisa lolos sebagai peserta pemilu.
Ditambah pola rekrutmen kepengurusan Partai Perubahan melalui link WhatsApp group dan cara-cara online lainnya. Kepengurusan asal jadi dan asal ada tidak akan bertahan lama.
Keluar masuk pengurus bakal tinggi karena hanya mengandalkan semangat sesaat. Tidak berdasarkan ketokohan atau figur sentral yang ada di Partai Perubahan.
Sementara UU Pemilu mensyaratkan untuk partai politik menjadi peserta pemilu sangat berat. Harus ada 100 persen pengurus tingkat propinsi, 75 persen pengurus tingkat kabupaten/kota, 50 persen pengurus tingkat kecamatan di kabupaten/kota dan sekurang-kurangnya 1.000 (seribu) orang atau 1/1000 dari jumlah penduduk pada kepengurusan partai politik yang dibuktikan dengan kepemilikan kartu tanda anggota.
Dan persyaratan lainnya seperti kantor tingkat propinsi, kabupaten/kota yang membutuhkan dana tidak sedikit. Bila tidak didukung logistik yang kuat sulit Partai Perubahan besutan Robi Nurhadi akan lolos sebagai peserta Pemilu tahun 2029.
Kecuali Robi Nurhadi dan kawan-kawan mendirikan Partai Perubahan hanya sekadar untuk mencari panggung politik serta membajak ikon Perubahan agar tidak bisa digunakan oleh Anies Baswedan yang sudah terlanjur melekat sebagai tokoh Perubahan.
Wallahua’lam bish-shawab
Bandung, 4 Jumadil Awwal 1446/6 November 2024
Tarmidzi Yusuf, Kolumnis