News  

MUI Soal Uang Rp. 517 Triliun Berputar di Judi Online: Negara Tak Boleh Berdiam Diri!

Maraknya praktik judi online di Indonesia kian mengkhawatirkan. Berdasarkan laporan terbaru dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), perputaran dana dari aktivitas judi online di Tanah Air telah mencapai angka fantastis. Sejak 2017 hingga 2023, total perputaran dana dari transaksi judi online tercatat sekitar Rp517 triliun, sementara pada 2024 ini, hingga semester kedua, angkanya terus melonjak. Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), Anwar Abbas, menyuarakan keprihatinan mendalam terkait fenomena ini dan mendesak negara untuk mengambil tindakan tegas.

“Negara ini tidak boleh berdiam diri melihat judi online yang semakin merusak masyarakat, terutama generasi muda. Praktik ini sudah sangat mengkhawatirkan dengan jumlah pelaku yang terus bertambah dan perputaran dana yang tak terkendali,” ujar Buya Abbas dalam pernyataannya kepada inilah.com, Senin (11/11).

4 Juta Pelaku dan Transaksi Triliunan Rupiah

Berdasarkan data PPATK, jumlah warga Indonesia yang terlibat dalam judi online pada tahun 2024 sudah mencapai sekitar 4 juta orang. Para pelaku tersebar di berbagai kelompok usia, dengan 2 persen di antaranya berusia di bawah 10 tahun, sementara 11 persen berada pada rentang usia 10-20 tahun. Kelompok usia produktif, yakni 30-50 tahun, mencatatkan jumlah pelaku terbanyak, mencapai 1,64 juta orang atau 40 persen dari total pelaku judi online.

Lebih lanjut, PPATK melaporkan bahwa sepanjang tahun 2023 saja terjadi 168 juta transaksi terkait judi online dengan nilai perputaran mencapai Rp327 triliun. Pada 2024, transaksi terus melonjak dengan total perputaran dana pada semester pertama menyentuh Rp174 triliun dan meningkat lagi menjadi Rp283 triliun pada semester kedua.

Generasi Muda Terancam, Kesenjangan Sosial Memburuk

Ketua PP Muhammadiyah itu menyoroti bahaya judi online bagi generasi muda yang rentan terhadap pengaruh negatif. Menurutnya, fenomena judi online ini bukan hanya masalah ekonomi, tetapi juga berdampak pada ketahanan sosial.

“Anak-anak kita menjadi korban dari judi online ini, dan banyak dari mereka yang terjebak hingga terlibat dalam tindakan kriminal. Mereka tidak siap secara mental dan ekonomi, tetapi karena akses internet yang mudah, pengaruh iklan, dan minimnya pengawasan, mereka menjadi korban,” jelas Buya Abbas.

Dari segi pendapatan, 80 persen pelaku judi online berasal dari kalangan menengah ke bawah, sementara 20 persen lainnya dari kalangan menengah ke atas. Menurutnya, hal ini mengindikasikan dampak sosial ekonomi yang kian memburuk. Banyak pelaku yang kecanduan dan mengalokasikan hingga 70 persen pendapatan mereka untuk judi online, mengabaikan kebutuhan pokok keluarga.

Negara Diminta Bertindak Tegas

Melihat situasi yang kian kritis ini, Buya Abbas menyerukan agar negara segera bertindak dengan menutup akses terhadap situs-situs judi online dan menindak tegas jaringan bandar yang beroperasi.

“Sebagai negara yang bertugas melindungi rakyatnya, Indonesia harus mengambil langkah tegas untuk menghentikan judi online ini. Negara tidak boleh hanya berdiri dan menonton ketika masalah ini sudah merusak sendi-sendi kehidupan masyarakat kita,” tegasnya.

Menurutnya, pemerintah memiliki tanggung jawab untuk melindungi, mencerdaskan, dan menyejahterakan rakyat. Karena itu, perlu dilakukan langkah komprehensif, mulai dari pemblokiran akses hingga penegakan hukum yang ketat terhadap para bandar dan pihak yang terlibat. Selain itu, Buya juga menekankan pentingnya sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat, terutama anak-anak dan remaja, agar mereka memahami bahaya dari praktik perjudian.

Mengembalikan Ketahanan Sosial di Tengah Krisis

Buya Abbas berharap langkah-langkah tegas dari pemerintah dapat membantu membangun kembali ketahanan sosial yang kini tengah terkikis oleh bahaya judi online.

“Sudah saatnya kita bertindak bersama-sama untuk menyelamatkan generasi mendatang dari ancaman ini. Judi online tidak hanya merusak ekonomi keluarga, tetapi juga menciptakan ketergantungan dan merusak moralitas bangsa. Ini adalah saatnya kita berpikir ke depan dan berbuat nyata demi masa depan yang lebih baik,” tutupnya.

(Sumber)