News  

Upah Naik Receh, PPN Meroket 12 Persen, Sri Mulyani Benamkam Buruh ke Jurang Kemiskinan

Tahun depan, rasa-rasanya, nasib buruh itu tak beda dengan orang jatuh masih tertimpa tangga pula. Apesnya bertubu-tubi. Ah, masak iya?

Menurut paparan Presiden Partai Buruh yang juga Presiden Partai Buruh, Said Iqbal, sepertinya begitu. Bayangkan saja, tahun depan, upah buruh hanya naik di kisaran 1-3 persen.

Di sisi lain, Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani malah menaikkan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen. Dampak dari kebijakan ini, luar biasa.

Maksudnya, luar biasa memberatkan rakyat kecil termasuk buruh. Karena harga barang dan jasa bakalan naik. Walhasil, daya beli yang semakin kendor.

Jadi, jangan bermimpi perekonomian nasional bakal menjulang hingga level 8 persen. Yang ada, kehidupan kelas menengah ke bawah termasuk buruh bakal semakin sengsara. Jangan kaget jika jumlah orang miskin membludak. .

“Kebijakan ini diprediksi membuat daya beli terjungkal; signifikan. Hati-hati, kesenjangan sosial yang lebih dalam. Serta menjauhkan pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan 8 persen,” kata Said Iqbal di Jakarta, Selasa (19/11/2024).

Anggaplah upah buruh naik 3 persen, Said Iqbal menyebut, kenaikan PPN menjadi 12 persen itu, membuat buruh kesulitan memenuhi kebutuhan hidup secara layak. “Lesunya daya beli ini juga akan memperburuk kondisi pasar, mengancam keberlangsungan bisnis, dan meningkatkan potensi PHK di berbagai sektor,” ujar Said Iqbal.

Nah, lebih gawat lagi kalau kebijakan PPN 12 persen menciptakan amuk PHK (Pemutusan Hubungan Kerja). Golongan masyarakat yang semua menengah bisa anjlok menjadi miskin. Kelompok miskin turun lagi menjadi super miskin.

Bagaimana dengan masyarakat berkantong tebal? Said Iqbal tak yakin, kelompok masyarakat papan atas mengalami dampak yang signifikan. Kalaupun kena efeknya paling hanya sedikit saja.

“Kebijakan PPN 12 persen, tidak hanya melemahkan daya beli. Tapi, saya khawatir, berpotensi menambah ketimpangan sosial,” kata Said Iqbal.

Dengan beban PPN yang meningkat, kata Said Iqbal, rakyat kecil harus mengalokasikan dana lebih banyak untuk membayar pajak, tanpa diimbangi dengan peningkatan pendapatan yang memadai.

Redistribusi pendapatan yang timpang ini, jelas akan memperlebar jurang antara yang kaya dan miskin, menjadikan beban hidup masyarakat kecil semakin berat. “Menurut kami, Partai Buruh dan KSPI, kebijakan ini mirip dengan gaya kolonial yang membebani rakyat kecil demi keuntungan segelintir pihak,” ungkapnya.

Agar semua gambaran negatif itu tak terjadi, lanjut Said Iqbal, KSPI dan Partai Buruh menuntut 4 hal ini yang harus dilakukan pemerintah. Pertama, naikkan upah minimum 2025 sebesar 8-10 persen, agar daya beli masyarakat meningkat

Kedua, menetapkan upah minimum sektoral yang sesuai dengan kebutuhan tiap sektor. Ketiga, membatalkan rencana kenaikan PPN menjadi 12 persen. Keempat, meningkatkan rasio pajak bukan dengan membebani rakyat kecil, tetapi dengan memperluas jumlah wajib pajak dan meningkatkan penagihan pajak kepada korporasi besar dan individu kaya.

Jika pemerintah tetap menjalankan PPN 12 persen tanpa kenaikan upah 8-10 persen, KSPI bersama sejumlah serikat buruh lainnya, akan menggelar mogok nasional yang melibatkan 5 juta buruh di seluruh Indonesia.

“Aksi ini direncanakan akan menghentikan produksi selama minimal 2 hari antara tanggal 19 November hingga 24 Desember 2024, sebagai bentuk protes terhadap kebijakan yang dianggap menekan rakyat kecil dan buruh,” tegas Said Iqbal.(Sumber)