Kasus rudapaksa ini ramai menjadi perbincangan publik di media sosial, terutama platform X. Ramainya kasus ini diperbincangkan warganet lantaran pihak yang dijadikan tersangka oleh pihak kepolisian merupakan disabilitas tuna daksa yang tak memiliki lengan.
Netizen pun heran, bagaimana tersangka yang diketahui bernama Agus (22) melakukan tindak rudapaksa sementara ia tak memiliki tangan. Kepada media pria asal Kecamatan Selaparang, Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB) ini tak mengakui perbuatannya, ia justru mempertanyakan penetapan status tersangka kepada dirinya.
Bagaimana bisa ia ditersangkakan kasus rudapaksa, sementara pakai baju saja masih butuh bantuan orang lain?
Keterangan Kepolisian
Berdasar kronologi dari pihak kepolisian, Ditreskrimum Polda NTB, Kombes Syarif Hidayat mengungkapkan, Agus yang tak pernah mengenal korban sebelumnya, mengajak MA ke salah satu homestay di Kota Mataram. Berdasarkan hasil visum yang diterima polisi, ditemukan dua luka lecet di kelamin korban akibat benda tumpul.
“Tidak pernah saling bertemu, tidak ada kenal satu sama lain, bertemunya pada saat itu di Teras Udayana, si korban itu sedang membuat konten untuk Instagramnya dia,” kata Syarief saat jumpa pers di Polda NTB, Senin (2/12).
Saat mengobrol itu, Agus meminta korban melihat pasangan lain yang sedang berciuman di taman. Korban sontak menangis dan teringat dengan mantan pacarnya. “Si pelaku menyuruh korban melihat ke sana ya, serta merta si korban ini tanpa disadari mengungkapkan kalimat seperti saya dulu sambil sedih dengan raut muka sedih hampir mengeluarkan air mata,” katanya.
Agus lalu minta korban bercerita tentang masalah yang membuatnya menangis. Salah satu hal yang diceritakan adalah hal buruk yang dia lakukan dengan pacarnya. Tindakan korban dan pacarnya itu menurut Agus telah membuat korban berdosa. Sehingga dia harus disucikan dengan ritual “Mandi Suci’.
“Pelaku sudah mengetahui itu menyampaikan kamu itu berdosa, kamu itu perlu dibersihkan, caranya harus mandi, mandinya dengan mandi bareng,” ucap Syarief.
Syarif juga mengatakan bahwa pihaknya telah mengantongi keterangan dari 5 saksi kunci, antara lain korban dan penjaga homestay. Selain itu, Polda NTB juga memiliki keterangan hasil analisis dari ahli visum dan ahli psikologi. Agus diduga melancarkan aksinya hanya dengan menggunakan kaki.
“Berdasarkan fakta-fakta yang telah didapatkan dari proses penyelidikan, Agus merupakan penyandang disabilitas secara fisik. Tapi tidak ada hambatan untuk melakukan pelecehan seksual fisik terhadap korban,” ujar Kombes Syarif Hidayat.
L Yulhaidir selaku ahli psikologi, kata Syarif, menyimpulkan korban mengalami trauma emosional yang signifikan termasuk ketakutan dan perasaan tidak berdaya akibat tekanan situasional. Syarif menambahkan, ahli psikologi itu memaparkan karakteristik pelaku yang disebut memiliki kemampuan membaca situasi dan mengatur strategi dengan baik meski memiliki disabilitas.
Kronologi Korban
Sementara itu, pendamping korban MA, Ade Latifa Fitri mengungkapkan, awal mulanya korban yang sedang berjalan-jalan di Taman Udayana dihampiri dan diajak berbicara oleh Agus yang tak pernah dikenal sebelumnya. Agus disebutkannya menggiring korban untuk berpindah lokasi dan membuat korban menyaksikan adegan asusila dari pasangan lain.
Hal itu membuat trauma lama korban MA terpicu kembali. Momen tersebut, kata Ade dimanfaatkan Agus untuk mengulik masa lalu korban dan mengancam akan mengungkapkannya kepada orang tua korban. Agus kemudian membawa korban ke Homestay. Korban sempat berteriak tetapi Agus terus mengancam.
“Pelaku memanfaatkan kondisi psikologis korban. Dia menggunakan kata-kata manipulatif, ancaman, dan intimidasi untuk membuat korban merasa tidak punya pilihan lain,” jelasnya.
Setelah kejadian di homestay, korban sempat berusaha menghindari pelaku. Namun, pelaku terus mengancamnya untuk memastikan korban tidak melawan. Di tengah perjalanan kembali, korban akhirnya menghubungi temannya untuk meminta bantuan.
Setibanya di Islamic Center Kota Mataram, teman-teman korban berhasil menemui pelaku dan mendesaknya terkait tindakan yang sudah dilakukan. Meskipun awalnya sempat ingin meluapkan kemarahan secara fisik, teman-teman korban memilih untuk membantu korban melaporkan kasus ini ke pihak kepolisian.
Andre Saputra, pendamping korban lainnya, mengungkapkan Agus diduga memiliki lebih dari satu korban. Hingga saat ini, sudah ada enam korban yang teridentifikasi, dengan dua di antaranya bersedia menjadi saksi.
Ade dari Pusat Bantuan Hukum Mangandar (PBHM) NTB, mengatakan, modus yang digunakan pelaku terhadap para korban lainnya diduga serupa, dengan ancaman psikologis sebagai senjata utama. “Ada laporan dari korban lain yang juga menjadi saksi. Modusnya sama, menggunakan manipulasi psikologis dan intimidasi,” ujarnya.
Kronologi Tersangka
Agus mengaku awalnya bertemu korban di Taman Udayana dan meminta tolong untuk diantarkan ke kampus. Namun, korban justru membawa Agus ke homestay. Agus menyebut, korban juga yang membayar kamar homestay, membuka pintu kamar, hingga melucuti baju dan celananya. Ia mengaku takut untuk melawan karena posisinya dalam keadaan tak berbusana.
Ia juga mengklaim tuduhan telah melakukan rudapaksa itu tidak benar. Korban jelas-jelas bisa melawan mengingat kondisi tersangka yang tak memiliki lengan. Agus tetap pada keterangan awalnya. Ia membantah tuduhan yang dialamatkan padanya. Ia juga mempertanyakan logika hukum yang menempatkannya sebagai tersangka.
“Saya tidak bisa mengerti bagaimana saya bisa melakukan kekerasan seksual atau pemerkosaan, sedangkan saya tidak memiliki kedua tangan. Logika saja, bagaimana saya bisa buka celana atau buka baju sendiri?” tegas Agus.
Agus saat ini telah ditetapkan sebagai tersangka atas kasus dugaan pelecehan seksual. Meski jadi tersangka, Agus tak ditahan di dalam sel. Ia hanya menjadi tahanan rumah selama 20 hari ke depan. {redaksi}