News  

Political Fatigue di Pilkada 2024, Rakyat Lelah Dengan Gimmick dan Janji-janji

Sejak awal sudah ada kekhawatiran setelah Pilpres dan Pileg yang penuh gejolak, pemilih mengalami kelelahan politik. Apalagi dalam setiap pemilu, politik sudah memanas sejak dua tahun sebelum pencoblosan. Gimmick dan trik-trik politik kotor, saling menghasut, hingga membanjirnya berita bohong menjadi santapan warga setiap saat di media massa dan media sosial.

Setidaknya sudah tiga kali petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) mengeluarkan pengumuman lewat pengeras suara Masjid Sultan Agung, di RW 05, Kelurahan Cibodas Baru, Kota Tangerang, saat pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak Rabu (27/11/2024). Isi pesannya sama, mengimbau warga segera mendatangi Tempat Pemungutan Suara (TPS).

Imbauan ini dilakukan mengingat tiga TPS di wilayah itu masih sepi didatangi para pemilih bahkan hingga menjelang tutup. Lihat saja, di TPS 06, RW 05, Cibodas Baru yang memiliki jumlah pemilih terdaftar 585 orang, hingga pemungutan suara ditutup pukul 13.00 WIB, hanya 285 orang yang menunaikan haknya sebagai warga negara.

“Sekarang lebih sepi dibandingkan saat Pilpres. Padahal warga sudah diimbau segera mendatangi TPS dan undangan sudah disebar sejak beberapa hari lalu,” ujar Tasya N Ghaisani, Wakil Ketua KPPS di TPS 06, Rabu (27/11/2024).

Fenomena seperti ini terjadi di banyak TPS. Sebuah postingan video di akun Instagram @ziegulmaliex memperlihatkan seorang kyai di Ciamis, Jawa Barat berkeliling kampung menggunakan sepeda motornya dan dengan bahasa Sunda mengajak warga mendatangi TPS. “Geuwat nyaroblos! (Buruan mencoblos)” katanya kepada setiap warga yang ia temui di sepanjang jalan.

Bahkan sebuah media asing yang melaporkan liputan langsung dari salah satu TPS di Jakarta Selatan mengungkapkan, sampai pukul 11 pagi, baru 132 dari 548 pemilih terdaftar yang telah memberikan suaranya.

Menurut catatan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Daerah Jakarta, partisipasi pemilih pada Pilkada Jakarta 2024 dilaporkan menjadi yang terendah sepanjang sejarah. “Sekilas kami monitoring memang tingkat partisipasi di angka 50-60 persen,” kata Ketua KPUD Jakarta Wahyu Dinata, Kamis (28/11/2024).

Angka partisipasi pemilih pada Pilkada Jakarta 2024 tercatat hanya 4,3 juta suara. Sementara jumlah daftar pemilih tetap (DPT) sebanyak 8,2 juta. Artinya, partisipasi pemilih ada di angka 53,05. Bandingkan dengan Pilkada 2007 dan 2012, partisipasi pemilih mencapai sekitar 65 persen sedangkan di 2017 lebih dari 70 persen.

Sementara secara nasional, berdasarkan pemantauan Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap) KPU RI Jumat (30/11/2024) petang, dari 98,5 persen data yang masuk, tingkat partisipasi pemilih dalam Pilkada 2024 hanya 68,16 persen. Angka ini jauh lebih rendah ketimbang Pilpres 2024 Februari lalu yang mencapai 80 persen lebih.

Masih menurut Sirekap KPU, partisipasi pada Pilkada Sumatera Utara hanya 55,6 persen, sedangkan DKI Jakarta hanya 57,6 persen, terendah sepanjang sejarah. Di beberapa daerah juga terjadi penurunan partisipasi pemilih seperti di Bekasi, Denpasar, Gunung Kidul, Ngawi, Jepara dan banyak daerah lainnya.

Pemilu Berurutan dalam Setahun

Tahun 2024 adalah tahun yang sangat sibuk secara politik dengan pelaksanaan Pilpres dan Pileg yang penuh gejolak kemudian disusul dengan Pilkada. Rentetan agenda ini berpotensi membuat masyarakat merasa jenuh karena terus-menerus terpapar isu politik sehingga memunculkan usulan pemisahan tahun penyelenggaraan Pemilu dengan Pilkada.

Dalam setiap pemilu, situasi politik sudah memanas sejak dua tahun sebelum penyelenggaraan pencoblosan. Gimmick dan trik-trik politik kotor, saling menghasut, hingga membanjirnya berita bohong menjadi santapan warga setiap saat di media massa dan media sosial.

Proses kampanye pada Pilkada yang panjang dan intens di beberapa daerah juga bisa menguras perhatian publik. Apalagi Pilkada kali ini merupakan yang pertama memilih pemimpin daerah di hari yang sama serentak di semua wilayah. Ada lebih dari 1.550 kandidat bersaing untuk menduduki jabatan pimpinan di 545 daerah dengan rincian 37 provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota.

simulasi-pemungutan-dan-penghitungan-suara-pilkada-2024-di-surabaya-221124-Ds-3.png
Ilustrasi petugas KPPS menghitung surat suara saat penghitungan suara Pilkada 2024. (Foto: Antara/Didik Suhartono).

Akibatnya, masyarakat sudah jenuh dan bosan dengan ingar bingar politik bahkan mungkin menghindari mengonsumsi berita politik. Tak sedikit warga mulai merasakan politics fatigue syndrome atau sindrom kelelahan politik. Awalnya mungkin hanya merasa lelah mengikuti perkara politik, lambat laun berujung pada keengganan berpartisipasi dalam segala bentuk proses politik.

Salah satunya dengan tidak mendatangi TPS saat Pilkada serentak 2024 ini. “Sudah males saya nyoblos. Siapapun yang dipilih entah itu presiden, anggota DPR, gubernur atau bupati wali kota tak ada pengaruhnya juga buat kehidupan rakyat seperti saya. Saya milih cari duit aja,” ujar Syamsuddin, pengemudi ojek online yang tengah beristirahat di kawasan kawasan Palmerah, Jakarta Barat.

Kelelahan politik ini salah satunya memang berdampak pada rendahnya partisipasi pemilih, sehingga menimbulkan pertanyaan tentang keabsahan hasil pemilu. Masyarakat juga menjadi apatis terhadap pemerintah serta menurunkan kualitas demokrasi.

“Ada kecenderungan anak muda jenuh dengan pembahasan politik dari Pemilu lalu, dan kini dihadapkan dengan Pilkada. Hal ini menyebabkan mereka enggan atau bahkan menunda mencari informasi terkait Pilkada,” kata Haykal, peneliti Perludem, lembaga yang meneliti pemilu dan demokrasi, mengutip DW.

Terjadi juga di Amerika

Fenomena seperti ini sebenarnya tidak hanya terjadi di Indonesia. Survei Pew Research tahun lalu menyimpulkan setidaknya 65% warga Amerika Serikat merasa lelah dengan politik, bahkan 55% merasa marah terhadap kehidupan publik di negaranya.

Ahli strategi politik Diana L. Banister dari Shirley & Banister Public Affairs mengungkapkan, ada beberapa kemungkinan penyebab political fatigue. Di antaranya adalah sistem yang ada yaitu, pemerintah di pusat maupun daerah terlalu besar dan terlalu birokratis untuk memberikan manfaat bagi siapa pun, dalam hal ini rakyat.

Faktor penting lainnya adalah kekecewaan terhadap politisi. Rakyat sudah jijik dengan para pemimpin dan calon pemimpinnya. Mereka, karena ingin menang kontestasi bersuara lantang sebagai paling antikorupsi dan pro-rakyat namun sering pamer kekayaan di medsos bahkan terjerat kasus korupsi. Tingkah para politisi ini membuat rakyat frustrasi dan pasrah.

“Mereka lebih fokus mencalonkan diri sebagai kandidat daripada benar-benar memerintah membuat pemilih menilai penjual mobil bekas lebih baik daripada politisi. Mungkin butuh waktu bertahun-tahun, bahkan puluhan tahun, untuk menemukan obatnya,” papar Banister.

Bahayanya, rasa frustasi dan kelelahan dalam politik ternyata berdampak pada kesehatan mental warga. “Ada banyak bukti yang terus bertambah bahwa politik memiliki dampak negatif pada berbagai hasil kesehatan,” kata Kevin B. Smith, PhD, profesor ilmu politik di University of Nebraska–Lincoln.

Dalam sebuah survei di Amerika, hampir setengah dari orang dewasa mengatakan politik merupakan sumber stres yang signifikan, dengan menyebutkan masalah-masalah seperti kurang tidur, emosi yang mudah meledak, dan pikiran-pikiran obsesif. Belum ada penelitian seperti ini di Indonesia, tapi diperkirakan fenomena global seperti ini juga terjadi di Indonesia bahkan bisa lebih parah.

Butuh Iklim Politik Lebih Segar

Sungguh memprihatinkan melihat rendahnya partisipasi pemilih dalam Pilkada ini. Warga merasa lelah dengan janji-janji, merasa dikhianati secara politik sehingga merasa tak perlu lagi memberikan hak suaranya. Ditambah lagi publik terus dijejali berita yang isinya perang kata-kata para politisi di media massa dan medsos.

Perdebatan politik semakin tidak bermutu ataupun mengulang-ulang. Para aktivis politik seperti kehabisan gagasan yang cerdas dan menarik ditonton. Ada yang bagus, namun lebih banyak isinya cacian dan hujatan yang tidak ada habisnya.

Sementara di sisi lain, warga merasa merasa hidup semakin sulit, harga-harga kebutuhan pokok tetap tinggi, pemutusan hubungan kerja dan lowongan kerja sangat terbatas sehingga muncul reaksi emosional yang normal terhadap keadaan politik saat ini. Terasa menyesakkan memang.

Namun fenomena ini tak bisa dibiarkan. Diperlukan upaya kolektif dari pemerintah, penyelenggara pemilu, kandidat, dan masyarakat untuk menciptakan iklim politik lebih segar, inklusif, dan berorientasi pada solusi. Dengan begitu, political fatigue dapat diminimalkan, partisipasi warga tetap optimal, dan kualitas demokrasi pun terjaga. (Sumber)