H-1 pencoblosan Pilkada Serentak 2024, Destika Ramadhanti (24), warga Rangkasbitung, Banten, masih terombang-ambing oleh kebimbangan. Haruskah ia pulang ke kampung halaman untuk menggunakan hak pilihnya, ataukah lebih baik menyerahkan suara itu pada kekosongan? Kekecewaan bertahun-tahun terhadap para pemimpin membuat keputusan ini terasa jauh lebih rumit daripada sekadar pergi ke tempat pemungutan suara (TPS).
Bekerja sebagai admin di sebuah perusahaan di Tambun Selatan, Bekasi, Jawa Barat, jarak jauh dari rumahnya di Rangkasbitung memaksa Destika tinggal di sebuah kos kecil. Namun, alasannya untuk tidak memilih bukan sekadar perkara jarak. “Enggak mau milih karena calonnya itu-itu aja, cuma janji-janji. Enggak ada yang benar-benar peduli sama rakyat,” keluhnya.
Di daerah asalnya, Destika mengaku hampir tak mengenal para calon gubernur dan bupati yang maju. Pilgub Banten 2024 menampilkan dua pasang kandidat: Andra Soni-Dimyati Natakusumah dan Airin Rachmi Diany-Ade Sumadi. Di Kabupaten Lebak, tiga paslon bertarung memperebutkan kursi: Hasbi Jayabaya-Amir Hamzah, Dede Supriyadi-Virnie Syafitri, dan Sanuji Pentamarta-Dita Fajar. Namun, informasi yang diterimanya lebih banyak tentang saling serang antarkandidat daripada gagasan yang solutif.
“Sosial media malah penuh orang-orang yang saling jelek-jelekin paslon. Pendukungnya juga arogan. Enggak ada yang bikin aku yakin untuk nyoblos,” tambahnya.
Dinasti Politik yang Menjemukan
Di Banten, masalah politik tak lepas dari bayang-bayang dinasti Ratu Atut Chosiyah. Nama-nama keluarganya mendominasi kontestasi politik di provinsi ini. Airin Rachmi Diany, adik ipar Atut, mencalonkan diri sebagai gubernur. Andika Hazrumy, putra Atut, maju sebagai calon bupati-wakil bupati Serang. Ada pula Ratu Ria Maryana, adik tiri Atut, sebagai calon wali kota Serang.
“Banten tuh rusak. Dinasti politik semuanya. Aku yakin mereka enggak jauh dari korupsi,” ucap Destika, dengan nada penuh frustrasi.
Kegusaran serupa dirasakan Irfansyah Naufal (25), warga Pamulang, Tangerang Selatan, Banten. Tinggal di wilayah yang lebih maju dibanding Rangkasbitung tak membuatnya tergerak untuk memilih. Isu dinasti politik yang terus mencuat sejak ia remaja membuatnya skeptis. “Airin maju? Udah pasti nggak, dia bagian dari dinasti politik Ratu Atut,” tegasnya.
Keyakinan Irfansyah semakin menguat setelah menonton debat perdana Pilgub Banten. Alih-alih diskusi berbobot, debat itu justru dipenuhi serangan personal dan isu sensitif seperti seksisme. “Aku nggak bisa percaya sama dua paslon ini. Sama aja semua,” ujarnya.
Sementara itu, Raffi Abdurochim (25), warga Ciputat, Tangsel, memilih meninggalkan rumah pagi-pagi di hari pencoblosan. Namun, tujuannya bukan ke TPS, melainkan untuk bersepeda di jalanan yang lengang. “Ngapain ribet ke TPS? Calonnya gitu-gitu aja, enggak ada yang bikin aku yakin,” ucap barista di sebuah kedai kopi ini.
Golput dan Dampaknya
Pilihan golput bukan tanpa konsekuensi. Tingginya angka golput bisa mengurangi legitimasi pemimpin terpilih. Pilkada Jakarta 2024, misalnya, mencatat partisipasi pemilih hanya 53,05 persen dari total DPT. Artinya, 46,95 persen pemilih memilih untuk tidak memilih.
“Golput itu bentuk kekecewaan, tapi juga alarm. Kalau dibiarkan, demokrasi kita makin rapuh,” ujar Haykal, peneliti dari Perludem. Ia menyoroti bahwa golput kerap dipicu oleh perilaku elite politik yang semakin vulgar dalam menunjukkan keberpihakan.
Destika juga mengisahkan praktik serangan fajar yang dilakukan tim sukses di daerahnya. “Sekarang lebih terang-terangan. Tetangga aku yang timses bahkan maksa orang-orang buat ambil sembako atau uang,” ceritanya.
Apa yang Harus Dilakukan?
Golput yang semakin meningkat di kalangan generasi muda menunjukkan perlunya perubahan dalam sistem politik dan pendidikan demokrasi. Negara perlu mendorong pendidikan demokrasi sejak dini, baik melalui jalur formal maupun informal. Generasi muda perlu dibekali kemampuan berpikir kritis agar mampu memilih pemimpin berdasarkan kualitas, bukan popularitas.
“Kaderisasi partai harus transparan. Kampanye juga harus edukatif, bukan sekadar serangan personal,” ujar. Di sisi lain, partai politik perlu menawarkan kandidat yang bisa merepresentasikan kebutuhan generasi muda.
Sebagai generasi yang akan mewarisi masa depan, anak muda tak seharusnya menyerah pada sistem yang mereka anggap rusak. Sebaliknya, mereka harus menjadi agen perubahan. Akankah mereka terus menjadi generasi apatis, atau mulai bangkit untuk memperjuangkan demokrasi yang lebih baik?.(Sumber)