Pihak Kejaksaan Agung (Kejagung) terus melakukan pemeriksaan terhadap para saksi dan mendalami sejumlah barang bukti dalam dugaan kasus korupsi tata kelola minyak mentah di subholding PT Pertamina (Persero), yaitu PT Kilang Pertamina Internasional (KPI).
Dugaan kasus korupsi tersebut konon terjadi pada periode 2018 hingga 2023. Kejagung pun tengah menyelidiki adakah pihak-pihak lain yang juga ikut terlibat.
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Agung Harli Siregar pada Selasa (18/2) pernah berkomentar, dikutip kembali Rabu (19/2), bahwa pihak Kejagung masih melakukan pengkajian terhadap barang bukti yang telah mereka sita.
Ketika ditanya soal berapa kerugian negara yang dialami, Harli hanya menjawab belum bisa menyampaikan kerugian negara atas kasus rasuah tersebut.
Kata dia, “Pada sampai pada waktunya tentu harus dihitung apakah ada kerugian keuangan negara.”
Di satu sisi, Harli pun enggan merinci berapa jumlah saksi yang diperiksa dalam kasus ini. Namun, hingga 10 Februari lalu, setidaknya ada 70 orang saksi yang memberikan keterangan kepada penyidik Kejagung.
Penyidik Kejagung juga telah memeriksa satu orang ahli, yakni seorang ahli keuangan negara.
Berdasarkan penjelasan Harli, kasus ini bermula ketika pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 42 Tahun 2018 yang mengatur mengenai prioritas pemanfaatan minyak bumi untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri.
Harli bilang, “Regulasi itu dikeluarkan dengan tujuan Pertamina diwajibkan untuk mencari minyak yang diproduksi dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.”
Dia pun komentar, “Minyak bagian dari Kontraktor Kontrak Kerja Sama atau KKKS swasta wajib ditawarkan kepada Pertamina.”
Lanjut Harli, “Apabila penawaran tersebut ditolak oleh Pertamina, maka penolakan tersebut digunakan untuk mengajukan rekomendasi ekspor.”
Ironi, imbuh Harli, subholding Pertamina, PT KPI diduga berusaha menghindari kesepakatan tersebut dengan berbagai cara.
Penjelasan Harli, pada periode tersebut terdapat Minyak Mentah dan Kondensat Bagian Negara (MMKBN) yang diekspor karena terjadi pengurangan kapasitas intake produksi kilang akibat pandemi COVID-19.
Anehnya, pada waktu yang bersamaan KPI malah mengimpor minyak mentah untuk memenuhi intake produksi kilang.
Penegasan Harli, ““Perbuatan menjual MMKBN tersebut mengakibatkan minyak mentah yang dapat diolah, dikilang, harus digantikan dengan minyak mentah impor.”
Harli bilang, “Ini merupakan kebiasaan Pertamina yang tidak dapat lepas dari impor minyak mentah.” (Sumber)