Semakin banyaknya industri padat karya bergelimpangan, memantik pemutusan hubungan kerja (PHK) massal, menjadi penghambat utama bagi terwujudnya pertumbuhan ekonomi 8 persen yang diidamkan Presiden Prabowo Subianto.
Guru Besar Universitas Paramadina, Prof Ahmad Badawi Saluy, menyebut, mustahil ekonomi bisa tumbuh jika industri ‘memble’ seperti saat ini.
“Tren pertumbuhan ekonomi Indonesia secara tahunan (year on year/yoy) cenderung menurun sejak 2011 hingga 2024, pengecualian 2020. Target Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2024 sebesar 19,9-20,5 persen pun tidak tercapai. Pada triwulan IV-2024, pertumbuhan ekonomi hanya 5,02 persen, dengan kontribusi industri pengolahan yang sangat kecil, Hanya satu persen,” kata Badawi, Jakarta, dikutip Rabu (12/3/2025).
Hal ini, kata Badawi, menunjukkan lemahnya peran sektor manufaktur dalam mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Selanjutnya dia membandingkan kinerja industri manufaktur Indonesia dengan negara-negara tetangga, seperti Malaysia dan Vietnam.
“Indonesia konsisten tertinggal, dengan struktur industri pengolahan yang masih didominasi oleh industri berbasis sumber daya alam (resource-based). Sementara itu, Malaysia dan Vietnam telah bergerak ke industri berbasis teknologi tinggi (high-tech), dan Thailand didominasi oleh industri teknologi menengah (medium-tech).
Kondisi ini menunjukkan perlunya transformasi struktural di sektor industri Indonesia agar mampu bersaing di tingkat global.
Di sisi fiskal, beban utang pemerintah juga menjadi tantangan serius. Pada 2024, utang jatuh tempo pemerintah pusat mencapai Rp371,8 triliun (Surat Berharga Negara) dan Rp62,49 triliun (utang), dengan total bunga utang lebih dari Rp550 triliun. Total kewajiban utang mencapai Rp1.353,2 triliun.
Badawi menegaskan, sangat berat bagi Indonesia mencapai pertumbuhan ekonomi 8 persen mengingat faktor pendukung seperti industri, situasi politik, dan
penegakan hukum yang belum memadai. Langkah strategis dan komprehensif diperlukan untuk memperbaiki fondasi ekonomi Indonesia ke depannya.
Anggota Komisi XI DPR asal Fraksi Partai Golkar, Puteri Anetta Komarudin mengatakan hal yang sama. Untuk bisa mewujudkan pertumbuhan ekonomi 8 persen, perlu dukungan dari industri padat karya yang kuat.
Sayangnya, saat ini, banyak industri padat karya yang tumbang. Salah satu ikonnya adalah PT Sri Rejeki Isman (SRIL) Tbk atau Sritex, industri tekstil terbesar di Asia Tenggara.
“Untuk mendukung keberlanjutan industri padat karya, diperlukan kebijakan yang melindungi dan tidak restriktif,” kata Puteri.
Menurut dia, pemerintah harus memperbaiki dan mengoptimalkan kebijakan untuk keberlangsungan industri padat karya dengan mempertahankan penyerapan tenaga kerja di tengah badai PHK.
Berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS), sektor industri ini menyerap 13,8 persen dari total tenaga kerja di Indonesia. Kontribusi besar ini didorong oleh industri pengolahan, yang menyumbang 18,9 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional.
Dia mencontohkan, kontribusi serapan tenaga kerja pada 2023, industri tekstil dan pakaian jadi menyerap sekitar 3,8 juta pekerja. Sementara itu, industri hasil tembakau menyerap lebih dari 6 juta pekerja, dan industri alas kaki serta kulit menyerap lebih dari 1 juta tenaga kerja.
“Pastinya, industri padat karya dapat mendorong pencapaian target pertumbuhan tersebut,” jelasnya.(Sumber)