Ketua Komisi Kejaksaan (Komjak) RI, Pujiyono mengakui jika hukuman penjara bagi koruptor tidak akan efektif untuk menghilangkan atau membuat efek jera. Bahkan jika hukuman mati diterapkan, belum tentu bisa memberantas korupsi di Indonesia.
“Yang ditakutkan koruptor bukan dipenjara, tapi dimiskinkan. Kalau lihat negara dengan corruption perceptions index (CPI) yang rendah sudah tidak ada hukuman mati,” kata Pujiyono Suwadi di Sukoharjo seperti dikutip Inilahjateng, Senin (17/3/2025).
Menurutnya, hukuman mati tidak berkorelasi positif pada angka CPI. Sehingga jika nilai tersebut tinggi belum tentu pelaksanaan hukuman tersebut akan efektif.
“Karena korupsi bukan hanya menghukum orang melakukan korupsi tapi efeknya menjadi tidak korupsi,” ujarnya.
Meski begitu, Pujiyono mengakui jika saat ini belum ada UU yang mengatur soal penyitaan aset-aset koruptor. Sebab UU Perampasan Aset belum mendapatkan dukungan penuh dari elite partai politik di DPR.
“Itu belum disahkan, masih ada di DPR. Sambil menunggu itu bisa memaksimalkan dengan menggunakan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Dalam hal ini penyidik diberi kewenangan lebih maksimal,” katanya.
Pujiyono menilai, UU yang ada saat ini sudah cukup mumpuni untuk memberantas korupsi. Contohnya penegak hukum bisa menerapkan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dalam menelusuri aset hasil korupsi.
“Sementara bisa pakai UU Tipikor, pakai UU TPPU. Itu bisa dilakukan. Selama ini kita terkendala kewenangan penyitaan. Bahkan beberapa kewenangan penyitaan tidak mengarah ke kasusnya. Jadi pidana pokoknya, tracking money mengarah ke sana tapi pidana pokok tidak mengarah ke sana,” terangnya.
Sementara itu, jika aset dilarikan ke luar negeri, untuk melakukan penyitaan maka penyidik juga harus mengantongi izin dari Kementerian Hukum terlebih dahulu.
“Izin penyitaan aset kalau di luar negeri Kejaksaan tidak bisa melakukan langsung, harus lewat Kementerian Hukum, proses birokrasi dan administrasi kan lama,” ucapnya.
Oleh karena itu, banyak koruptor yang melarikan aset mereka ke luar negeri.
“Di luar negeri akan menanyakan mana surat dari kementerian, istilahnya ada central otority. Di Indonesia yang memegang central otority adalah Kementerian Hukum, kalau di negara lain sudah di Kejaksaan. Harusnya central otority lari ke Kejaksaan,” imbuhnya.
Dengan demikian, penyitaan aset di luar negeri dapat lebih efektif dilakukan tanpa melewati proses birokrasi yang lama.(Sumber)