News  

Terungkap! KPK Sebut Kerugian Negara di Kasus Korupsi Kredit Fiktif LPEI Tembus Rp. 846,9 Miliar

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencatat bahwa pemberian fasilitas kredit fiktif oleh Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) kepada PT Petro Energy (PE) menyebabkan kerugian negara sebesar Rp846.956.205.027 (Rp846,9 miliar).

Direktur Penyidikan KPK, Asep Guntur Rahayu, menjelaskan bahwa angka tersebut terdiri dari outstanding pokok Kredit Modal Kerja Ekspor (KMKE) 1 PT Petro Energy sebesar USD18.070.000 (USD18,07 juta) atau setara dengan Rp297.811.670.000 (Rp297,8 miliar).

Selain itu, kerugian keuangan negara juga meliputi outstanding pokok KMKE 2 PT Petro Energy senilai Rp846.956.205.027 (Rp846,9 miliar).

“Jumlah kerugian keuangan negara USD18.070.000 dan Rp549.144.535.027,” kata Asep dalam jumpa pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Kamis (20/3/2025).

Sebelumnya, KPK telah menahan tiga petinggi PT PE yang menjadi tersangka dalam perkara ini. Presiden Direktur PT Caturkarsa Megatunggal sekaligus Komisaris Utama PT Petro Energy, Jimmy Masrin (JM), serta Direktur Keuangan PT Petro Energy, Susy Mira Dewi Sugiarta (SMD), ditahan pada hari ini.

“Guna kepentingan penyidikan, KPK melakukan penahanan terhadap dua orang tersangka dalam perkara LPEI pada hari ini, Kamis 20 Maret 2025,” kata Asep Guntur Rahayu dalam konferensi pers.

Sementara itu, tersangka lainnya, Direktur Utama PT Petro Energy, Newin Nugroho (NN), telah lebih dulu ditahan pada Kamis (13/3/2025). Namun, setelah pemeriksaan, Newin langsung dibawa ke mobil tahanan tanpa ditampilkan dalam jumpa pers.

Sedangkan dua tersangka lainnya, yakni Direktur Pelaksana I LPEI, Dwi Wahyudi (DW), dan Direktur Pelaksana IV LPEI, Arif Setiawan (AS), masih belum ditahan.

Asep menjelaskan bahwa dalam konstruksi perkara ini terdapat dugaan benturan kepentingan (conflict of interest) antara Direktur LPEI dan debitur PT Petro Energy. Sejak awal, telah terjadi kesepakatan untuk mempermudah proses pemberian kredit.

Direktur LPEI tidak melakukan pengawasan terhadap penggunaan kredit sesuai dengan ketentuan Manajemen Aset dan Piutang (MAP). Bahkan, Direktur LPEI memerintahkan bawahannya untuk tetap mencairkan kredit meskipun tidak layak diberikan.

PT PE diduga memalsukan dokumen purchase order dan invoice sebagai dasar pencairan fasilitas kredit yang tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya. Selain itu, PT PE juga melakukan window dressing terhadap laporan keuangan.

Dana kredit yang diterima PT PE tidak digunakan sesuai dengan tujuan dan peruntukan sebagaimana tertuang dalam perjanjian dengan LPEI.

Selain PT PE, terdapat 10 debitur lain yang diduga terlibat dalam peminjaman kredit fiktif ini yang belum ditetapkan sebagai tersangka. KPK mencatat bahwa total kerugian negara akibat 11 debitur LPEI ini mencapai Rp11,7 triliun.(Sumber)