News  

Siapa Pencetus Dwifungsi TNI dan Tahun Berapa Dibentuk?

Ilustrasi TNI (IST)

Disahkannya Rancangan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) baru-baru ini telah menimbulkan keresahan masyarakat, terutama mengenai kemungkinan munculnya kembali konsep dwifungsi TNI.

Dwifungsi TNI pernah menjadi bagian integral dari politik Indonesia selama Orde Baru. Lantas, apa itu dwifungsi TNI dan siapa yang mencetuskannya?

Apa Itu Dwifungsi TNI?

Dwifungsi TNI adalah konsep yang memberikan TNI dua peran utama, yaitu sebagai penjaga keamanan pertahanan negara, dan sebagai pengatur serta pengelola urusan negara. Konsep ini memberikan legitimasi bagi militer untuk terlibat dalam berbagai aspek pemerintahan dan kehidupan sosial, termasuk politik.

Dalam praktiknya pada masa Orde Baru, dwifungsi sering kali mengakibatkan dominasi militer pada sektor pemerintahan.

Gagasan tentang dwifungsi TNI pertama kali diperkenalkan oleh Jenderal Abdul Haris Nasution pada 1958 dalam pidatonya di Akademi Militer Nasional di Magelang. Nasution mengembangkan konsep yang dikenal sebagai jalan tengah yang bertujuan untuk memberikan peran pada militer dalam mendukung stabilitas politik dan sosial di Indonesia.

Konsep ini dahulunya disebut dwifungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), muncul sebagai respons terhadap ketidakstabilan politik yang ditandai oleh perselisihan antar partai dan kegagalan politisi sipil dalam merumuskan kebijakan.

Kemudian pada 1982, dwifungsi TNI secara resmi dilegalkan melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia.

Di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto, banyak perwira militer menduduki jabatan-jabatan krusial di lembaga eksekutif dan legislatif. Hal ini menciptakan situasi di mana militer tidak hanya berfungsi sebagai alat pertahanan, tetapi juga sebagai pengatur urusan pemerintahan.

Masyarakat Indonesia pada saat itu menilai, dominasi militer dalam politik menyebabkan pelanggaran hak asasi manusia dan merusak tatanan demokrasi.

Pada masa reformasi 1998, tuntutan untuk menghapuskan dwifungsi ABRI menjadi salah satu fokus utama gerakan tersebut. Penghapusan dwifungsi secara resmi dilakukan oleh Presiden KH Abdurrahman Wahid, yang memisahkan peran TNI dari urusan politik dan pemerintahan.

Disahkannya RUU TNI baru-baru ini menimbulkan kekhawatiran konsep dwifungsi akan kembali muncul dan mengancam demokrasi di Indonesia. Banyak masyarakat dan aktivis mengkhawatirkan dengan adanya RUU tersebut, peluang bagi militer untuk terlibat kembali dalam politik akan terbuka lebar.

Sejarah menunjukkan keterlibatan militer dalam politik sering kali berujung pada pelanggaran hak asasi manusia dan pengabaian terhadap prinsip-prinsip demokrasi.

Itulah sosok pencetus dwifungsi TNI. Dengan latar belakang sejarah yang kompleks dan pahit, masyarakat Indonesia kini berharap agar RUU TNI tidak menjadi alat untuk mengembalikan dominasi militer di Indonesia. (Sumber)