Tulisan ini bukan hendak membela RUU TNI yang kontroversial itu. RUU TNI seperti RUU lainnya di era rezim Jokowi. Padahal rezim sudah berganti. UU dibuat super kilat. Dibahas diam-diam. Tanpa naskah akademik lagi. Plus, tanpa adanya masukan dari ahli dari kampus seperti era Presiden Soeharto dulu.
Bagaimanapun kita tidak setuju Indonesia kembali ke era supermasi militer seperti era Orde Baru dulu. Lebih tidak setuju lagi seperti hari ini, supermasi polisi. Dimana-mana jabatan sipil banyak dipegang polisi. Boleh saja Anda berargumen polisi itu sipil. Tapi ingat! Polisi punya pistol. Malah sekarang banyak polisi yang bersenjata laras panjang. Pertanyaannya polisi mau nembak siapa?
Ramainya perbincangan publik hari ini tentang RUU TNI disertai aksi demonstrasi penolakan RUU TNI karena khawatir kembalinya supermasi militer atas sipil. Wajar. Menjadi tidak wajar bila mantan presiden dan partai cokelat ikut bermain. RUU TNI hanya jadi sasaran antara. Presiden Prabowolah yang menjadi target akhir mereka.
Kekhawatiran kembalinya supermasi militer inilah yang diduga kuat bermainnya Jokowi dan ‘partai cokelat’ menggerakkan demonstrasi dan protes terhadap pengesahan RUU TNI. Termasuk blow up media besar-besaran menyerang RUU TNI.
Kita tidak tahu siapa di balik teror kantor berita Tempo. Jangan-jangan ada operasi pihak lain untuk mengkambinghitamkan TNI dan Presiden Prabowo. Pihak lain itu, tentu saja institusi yang merasa terancam dengan pengesahan RUU TNI.
Polisi khawatir bila RUU TNI disahkan bakal mengambil beberapa posisi strategis yang selama ini dipegang polisi aktif dan purnawirawan polisi.
Seperti kita ketahui terakhir di era Jokowi Kepala BIN dijabat pensiunan jenderal polisi. Sekarang di era Presiden Prabowo, Kepala BIN dijabat pensiunan jenderal Angkatan Darat.
Belum lagi Ketua KPK. Dua periode Ketua KPK dijabat jenderal bintang tiga polisi. Ketua KPK sekarang Setyo Budiyanto adalah jenderal bintang tiga polisi aktif. Bukankah ini polisisasi?
Tidak menutup kemungkinan demi menjaga kepentingan politik Presiden Prabowo, Ketua KPK dan Jaksa Agung dari tentara. Presiden Prabowo perlu full power untuk melawan supermasi polisi yang dipimpin loyalis Jokowi.
Bila tentara makin kuat dan menguasai beberapa pos strategis dan reposisi polisi sambil menunggu RUU Polisi disahkan DPR akan membuat ketar ketir Jokowi dan partai cokelat. Penulis sendiri lebih setuju bila polisi dibawah Kementerian seperti Satpol PP hari ini.
Jokowi khawatir bila posisi Presiden Prabowo makin kuat akan menjadi target Presiden Prabowo. Jokowi tinggal mengandalkan polisi, Fufufafa dan loyalisnya di Kabinet Merah Putih.
Apalagi Jokowi banyak kasus. Mulai dari dugaan korupsi, ijazah palsu hingga pelanggaran HAM berat dalam kasus pembantaian dan pembunuhan 6 Laskar FPI. Tidak menutup kemungkinan Presiden Prabowo meniru pola Presiden Filipina, Ferdinand “Bongbong” Romualdez Marcos Jr. Jokowi ditangkap seperti mantan Presiden Filipina, Rodrigo Duterte.
Atas dasar opini itulah berkembang desas desus demontrasi dan operasi media menolak RUU TNI ditunggangi Jokowi dan partai cokelat. Presiden Prabowo belum merasa kuat untuk mengganti Kapolri pilihan Prabowo.
Kita nantikan babak selanjutnya. Persaingan supermasi polisi dan supermasi tentara. Sementara supermasi sipil tidak lebih baik dari era Orde Baru bahkan lebih buruk dari era Orde Baru. Korupsi makin gila-gilaan. Polisi makin arogan. Mirip tentara di zaman Orde Baru.
Bandung, 23 Ramadan 1446/23 Maret 2025
Tarmidzi Yusuf, Kolumnis