News  

Penerimaan Pajak Merosot Tajam, Anthony Budiawan Desak Suryo Utomo Dicopot Dari Dirjen Pajak

Direktur PEPS (Political Economy and Policy Studies), Anthony Budiawan menyatakan jebloknya penerimaan pajak dan gagal mencapai target 2024 merupakan tanggung jawab penuh bagi Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani.

“Saya kira yang paling bertanggung jawab adalah Menkeu Sri Mulyani, atas kinerja yang sangat buruk di bidang fiskal secara keseluruhan, termasuk jebloknya penerimaan pajak,” tegas Anthony kepada inilah.com saat dihubungi di Jakarta, Kamis (27/3/2025).

Tak hanya Sri Mulyani, Dirjen Pajak Suryo Utomo juga diminta untuk diganti karena selama 5 tahun lebih menjabat, tidak ada perubahan berarti terhadap kinerjanya. Bahkan diperkirakan pajak tahun ini juga gagal mencapai target.

“Tentu saja dirjen pajak juga bertanggung jawab dan perlu diganti, apalagi kalau sudah menjabat terlalu lama di posisi tersebut, sangat rentan penyalahgunaan wewenang,” tandasnya.

Di tengah perekonomian nasional yang sedang tidak baik-baik saja, Dirjen Pajak Suryo Utomo justru ditunjuk sebagai Komisaris Utama BTN.

Selain itu, ada pula kabar tak enak dari World Bank alias Bank Dunia terkait setoran pajak di Indonesia yang tak pernah optimal, bahkan ada potensi kehilangan yang cukup besar.

Berdasarkan laporan bertajuk Economic Policy: Estimating Value Added Tax (VAT) and Corporate Income Tax (CIT) Gaps in Indonesia yang dirilis pada 2 Maret 2025, Bank Dunia menganalisis data perpajakan Indonesia periode 2016-2021. Kesimpulannya, “Kinerja Indonesia dalam pengumpulan penerimaan pajak sangat buruk.”

Dikutip Rabu (26/3/2025), Bank Dunia mencatat Pemerintah Indonesia rata-rata kehilangan potensi pendapatan Rp546 triliun/tahun, dampak dari rendahnya kepatuhan pajak.

Potensi kehilangan pendapatan itu terbagi dari dua sumber yakni pajak pertambahan nilai (PPN) yang angkanya mencapai Rp386 triliun. Dan, pajak penghasilan (PPh) Badan sebesar Rp160 triliun per tahun. Bank Dunia menilai pemerintah Indonesia tak efisien dalam memungut pajak.

Justifikasinya adalah rasio penerimaan dari pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penghasilan (PPh) Badan yang dianggap terlalu rendah. Torehan yang dicatatkan Indonesia disebut masih kalah saing dari negara-negara sejawat.

Selain itu, Bank Dunia menyebut adanya inefisiensi atau pemborosan dalam pemungutan pajak. Istilahnya lebih besar belanja ketimbang penghasilan. “Menunjukkan kurangnya efisiensi (Pemerintah Indonesia) dalam memungut pajak.”

Faktor utama yang menjadi biang kerok adalah informalitas pajak di tanah air. Aktivitas yang tidak tercatat resmi sehingga pemerintah tak mampu mengumpulkan pendapatan dari sektor-sektor tersebut ini kerap disebut underground economy.

Bank Dunia juga menyebut kinerja penerimaan pajak dan tax ratio Indonesia sangat buruk dan salah satu terendah di dunia. Di mana, rasio penerimaan pajak Indonesia (tax ratio) terhadap produk domestik (PDB) Indonesia termasuk yang terendah di dunia. Angkanya hanya 9,1 persen pada 2021. Capaian ini jauh lebih rendah dibandingkan negara-negara berpenghasilan menengah regional lainnya.(Sumber)