News  

ISESS: Demokrasi Runtuh Bukan Lantaran Kekuasaan Otoriter, Tapi Karena Kebisuan kita Membiarkan Kekerasan

Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) menilai teror terhadap media massa dan provokasi terbuka di media sosial terhadap Presiden RI merupakan bentuk baru dari politik intimidasi, yang menggunakan kekerasan simbolik serta digital untuk mengguncang institusi demokrasi.

Co-Founder ISESS dan analis pertahanan dan keamanan Khairul Fahmi mengatakan dua peristiwa dalam waktu berdekatan belakangan tersebut mengganggu nalar sehat dalam kehidupan demokrasi di Indonesia.

“Keduanya bukan sekadar kontroversi viral atau ungkapan kemarahan sesaat, tetapi bentuk nyata dari ekstremisme politik,” ujar Khairul dalam keterangan tertulis di Jakarta.

Maka dari itu, menurutnya, Indonesia tidak sedang menghadapi kritik yang tajam atau oposisi biasa, melainkan sedang menghadapi aktor-aktor ekstrem di luar sistem demokrasi, yang beroperasi dengan memanfaatkan ruang digital dan keresahan publik.

Ia berpendapat bahwa penyebar teror maupun provokasi itu tidak berpartisipasi dalam sistem politik formal, tetapi tumbuh subur dari instabilitas, kebencian, dan polarisasi.

Adapun teror dimaksud, yakni adanya kiriman kepala babi ke kantor salah satu media massa, sebuah simbol kebencian yang menyasar kemerdekaan pers. Teror terhadap media, kata dia, mengancam pilar kebebasan berekspresi.

Sementara provokasi dimaksud, sambung Khairul, yakni provokasi terbuka di media sosial terhadap Presiden, termasuk seruan “bunuh presiden” yang mengaitkan iring-iringan kendaraan Presiden dengan tragedi Presiden Ke-35 Amerika Serikat John Fitzgerald Kennedy (JFK).

“Narasi kekerasan terhadap kepala negara mengguncang legitimasi pemerintahan yang sah,” tuturnya.

Di media sosial, ia menyebutkan para penyebar provokasi hadir dalam bentuk troll (orang yang melakukan provokasi) dan akun anonim yang menyebarkan provokasi terukur.

Seruan “bunuh presiden” yang dibungkus humor, meme, atau referensi budaya pop, kata Khairul, bukan sekadar satire, melainkan bagian dari simulasi kekerasan politik yang dirancang untuk viral, membentuk opini, dan memancing reaksi keras dari Negara.

Sementara itu, dia melanjutkan, kelompok ekstrem menggunakan kekacauan tersebut sebagai pintu masuk untuk melemahkan sistem. (Sumber)