Situasi politik nasional kembali memanas setelah kehadiran tokoh kontroversial Hercules Rosario Marshal di kediaman Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Solo, Selasa (15/4). Kunjungan ini terjadi tepat sehari sebelum ratusan aktivis dari berbagai penjuru Indonesia dijadwalkan datang ke rumah Jokowi dalam rangka aksi lanjutan verifikasi keabsahan ijazah Jokowi dari Universitas Gadjah Mada (UGM).
Sehari sebelumnya, ratusan aktivis telah “menggeruduk” Fakultas Kehutanan UGM di Yogyakarta. Tujuan mereka jelas: mencari kepastian apakah Jokowi benar-benar menyelesaikan studinya secara sah di kampus tersebut. Aksi ini berlangsung damai namun penuh ketegangan, menandai babak baru dari gelombang keraguan publik terhadap latar belakang akademik kepala negara.
Pengamat sosial dan politik, Buni Yani, menilai kehadiran Hercules di kediaman Jokowi bukanlah kebetulan. “Ini adalah sinyal yang sangat jelas. Jokowi ingin mengirimkan pesan: siapa pun yang mendekat akan berhadapan dengan Hercules dan jaringan kekuatannya,” ujar Buni Yani dalam pernyataannya kepada Radar Aktual, Rabu (16/4/2025)
Menurut Buni Yani, keputusan menghadirkan Hercules, seorang tokoh yang selama ini identik dengan kekuatan jalanan dan dunia premanisme, adalah indikasi kepanikan. “Jokowi makin panik dan lemah. Mukanya terlihat letih. Dia tidak mampu menghadapi aktivis dengan dialog yang beradab. Grammarnya payah, diksinya terbatas. Maka dia merasa Hercules bisa menenteramkan hatinya,” tegas Buni.
Kehadiran Hercules di Solo menimbulkan berbagai tafsir. Di satu sisi, ia bisa dilihat sebagai ‘perlindungan’ bagi Jokowi di tengah situasi yang memanas. Namun di sisi lain, tindakan ini justru bisa menimbulkan kesan bahwa Jokowi enggan menghadapi rakyatnya dengan pendekatan demokratis dan terbuka.
Aktivis dari kelompok mahasiswa, ormas sipil, hingga tokoh nasional dijadwalkan tiba di Solo pada Rabu pagi. Mereka menuntut agar Jokowi secara langsung memberikan klarifikasi atas temuan-temuan yang mereka peroleh dari UGM. “Kalau memang sah, tunjukkan datanya secara terbuka, jangan malah menghadirkan Hercules seolah hendak menakut-nakuti rakyat,” ujar salah satu koordinator aksi yang enggan disebut namanya.
Langkah Jokowi menghadirkan figur seperti Hercules bisa berpotensi menjadi bumerang politik. Di era keterbukaan dan partisipasi publik, penggunaan simbol kekuatan non-negara untuk menghadapi aspirasi rakyat bisa memicu reaksi keras, baik dari masyarakat sipil dalam negeri maupun komunitas internasional.
Buni Yani menambahkan, “Jokowi sudah kehabisan cara untuk mempertahankan narasi tentang dirinya. Menghindari debat akademik dan memilih pendekatan kekuasaan adalah bentuk kemunduran demokrasi.”