Pakar hukum pidana pada Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menilai, Polri punya perspektif yang sempit dalam memandang kerugian negara karena bersikeras tak mengusut dugaan korupsi di balik kasus pagar laut Tangerang.
Fickar menjelaskan, kasus pagar laut Tangerang begitu erat dengan kerugian negara, sebab penguasaan ruang laut saja sudah dapat dikategorikan merugikan negara.
“Polisi perspektifnya terlalu sempit, penguasaan ruang laut itu merugikan negara, merugikan masyarakat nelayan,” ujar Fickar kepada Kompas.com, Jumat (18/4/2025).
Fickar melanjutkan, proses pemalsuan surat tanah oleh Kepala Desa Kohod, Arsin bin Asip, dan stafnya juga berpotensi sarat dengan korupsi, baik itu suap maupun gratifikasi.
“Ini jelas korupsi baik oleh aparatur pemerintahan (lurah dan personel BPN) maupun oleh pihak swasta perusahaan yang membuat pagar,” lanjut Abdul.
Kemudian, pemagaran laut setelah sertifikat terbit juga dapat dimaknai penguasaan lahan milik negara oleh pihak swasta yang tentu merugikan negara.
Oleh sebab itu, Fickar mendorong agar Kejaksaan Agung mengambil alih penanganan kasus pagar laut di Tangerang jika Bareskrim masih tidak mau mengusut dugaan korupsi yang ada.
“Jadi sebaiknya Kejaksaan ambil alih penanganan kasus ini jika polisi masih tidak mau mengusutnya,” tutup Abdul.
Diberitakan, pengusutan kasus pagar laut di Tangerang, Banten, tak kunjung masuk ke meja hijau karena perbedaan pendapat antara Kejagung dan Polri.
Di satu sisi, Kejagung menduga ada persoalan korupsi dalam penerbitan dokumen sertifikat lahan pagar laut Tangerang.
Sementara itu, Bareskrim menilai bahwa persoalan yang terjadi hanya sebatas pada pemalsuan dokumen semata.
Sejak awal pengusutan hingga kini, Direktorat Tindak Pidana Umum (Dittipidum) Bareskrim Polri sudah dua kali melimpahkan berkas perkara ke Kejagung.
Namun, dua kali pula Kejagung mengembalikan berkas tersebut karena pihak kepolisian tidak mencantumkan dugaan korupsi dalam perkara tersebut.
Sejak pengembalian pertama pada 25 Maret 2025, Kejagung telah memberikan instruksi kepada Bareskrim agar turut mengusut dugaan suap atau gratifikasi yang berkaitan dengan korupsi dalam kasus ini.
Pasalnya, jaksa menemukan adanya dugaan atau potensi terjadinya korupsi dalam pemalsuan surat tanah yang dilakukan Kepala Desa Kohod, Tangerang, Arsin bersama jajaran stafnya.
Petunjuk dan catatan Jampidum soal pengusutan korupsi ini kembali dipertegas dalam pengembalian berkas kali kedua pada 16 April 2025.
Akan tetapi, tim peneliti berkas menyampaikan, Bareskrim Polri belum mengikuti petunjuk dari Kejaksaan Agung sehingga berkas harus dikembalikan lagi.
“Jadi, berkas perkara yang kita terima, itu tidak ada perubahan dari berkas perkara yang awal. Tidak ada satu pun petunjuk yang dipenuhi,” ujar Ketua Tim Peneliti Berkas Jaksa P16 Jampidum, Sunarwan, saat konferensi pers di Kejaksaan Agung, Jakarta, Rabu (16/4/2025).(Sumber)