Daya beli warga kelas menengah yang jumlahnya terus berkurang, menjadi ancaman serius bagi perekonomian nasional. Pasalnya, pertumbuhan ekonomi Indonesia sangat bergantung kepada konsumsi.
Wajar jika sejumlah organisasi ekonomi dunia meramalkan ekonomi Indonesia bakal susut di tahun ini.
Salah satu indikator semakin letoinya daya beli kelompok menengah adalah anjloknya transaksi pembayaran berbasis digital yakni QRIS (Quick Response Code Indonesia Standar), baca ‘kris’.
Mengingatkan saja, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat adanya penurunan jumlah warga kelas menengah periode 2029-2024. Pada 2019, jumlahnya masih 57,33 juta orang. Atau setara 21,45 persen dari total penduduk. Pada 2024 jumlahnya susut menjadi 47,85 juta, setara 17,13 dari total penduduk.
Artinya, dalam 5 tahun, warga kelas menengah ‘menghilang; hampir 9,5 juta jiwa. Bisa jadi, mereka turun kasta menjadi kelompok masyarakat rentan miskin. Atau jangan-jangan sudah benar-benar miskin.
Ingat, konsumsi dari kelas menengah menyumbang sepertiga dari pertumbuhan ekonomi nasional. Jika jumlah dan daya beli kelas menengah semakin longsor, maka semakin berat pula roda perekonomian bergerak.
Nah, relasi anjloknya jumlah kelas menengah dengan menurunnya transaksi QRIS, memang ada.
Survei Bank Jatim, mencatat, berkurangnya kelas menengah di Indonesia tercermin dalam transaksi QRIS yang terjun bebas sejak Juni hingga Agustus 2024.
Direktur Utama Bank Jatim, Busrul Iman menjelaskan, transaksi di QRIS Merchant pada Juni 2024, mencapai Rp176,30 miliar. Kemudian longsor menjadi Rp127,91 miliar pada Juli, dan naik tipis Rp130,51 miliar pada Agustus 2024.
Selain bisa menelisik isi dompet kelas menengah, transaksi QRIS juga cerminan dari sektor Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM).
Berdasarkan catatan Bank Indonesia (BI), 91 persen pengguna QRIS adalah pelaku UMKM. Ketika transaksinya sepi pertanda UMKM sedang tak baik-baik saja. Padahal peran UMKM tak kalah vitalnya bagi perekonomian nasional.
Sektor UMKM menyawer 61 persen Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia, serta 97 persen tenaga kerja. Bisa dibayangkan jika UMKM senasib dengan kelas menengah, perekonomian bisa macet di tengah jalan.
Dan, lembaga ekonomi dunia sekelas Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) mencermati adanya potensi itu. Alhasil, OECD menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2025 dari sebelumnya 5,2 persen, menjadi 4,9 persen.
Selani itu, berdasarkan laporan OECD Economic Outlook, Interim Report Sterring through Uncertainty edisi Maret 2025, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2026 bakal bergerak moderat di level 5 persen. Turun ketimbang perkiraan sebelumnya sebesar 5,1 persen.
“Indonesia (pertumbuhan ekonomi) diproyeksikan tumbuh sebesar 4,9 persen pada tahun 2025 dan 5,0 persen pada tahun 2026,” tulis laporan OECD, dikutip Sabtu (19/4/2025).(Sumber)