News  

Jokowi Tiru ‘Kudeta Merangkak’ Ala Soeharto?

Hari ini penulis mendapat istilah baru dari politisi senior, Muhammad Hatta Taliwang biasa disapa MHT. Menarik. Istilah yang belum pernah kita dengar, “kudeta merangkak”.

MHT mulanya mengungkap soal Gerakan 30 September atau G30S yang berujung berakhirnya era kekuasaan Presiden RI pertama, Ir. Soekarno.

Pasca gerakan 30 September, jelas MHT dalam sebuah group WhatsApp. “Massa mendesak Soekarno membubarkan PKI karena PKI dituduh terlibat dalam G30S”.

Sejak Oktober 1965 sampai dengan akhir Februari 1966, Soekarno menurut MHT, tetap keukeuh tak mau membubarkan PKI. Sementara itu Soeharto selangkah demi selangkah menyusun strategi dan kekuatan melumpuhkan Soekarno.

Inilah yang disebut kudeta merangkak oleh MHT, anggota DPR RI periode 1999-2004. Ia menyebut, “Selama 5 bulan Soeharto dengan sabar menunggu kapan saat yang tepat untuk melakukan tindakan keras”.

Barulah tanggal 11 Maret 1966, Soeharto mendapatkan Surat Perntah 11 Maret 1966 yang populer dengan sebutan Supersemar. Menurut informasi yang MHT terima, “Ada versi yang menyebut Supersemar dilakukan dengan tekanan keras kepada Soekarno”.

Sebelum Supersemar keluar, jelas aktivis senior ini, “Demonstrasi-demonstrasi mahasiswa tiap hari menekan Soekarno bahkan Istana Jakarta pernah dikepung tentara sebagai pressure terhadap Soekarno”.

Akhirnya Soeharto tanggal 12 Maret 1966 berbekal Supersemar membubarkan PKI. Soekarno marah mengganggap Soeharto menyalahgunakan Supersemar yang naskah aslinya hingga hari ini masih kontroversi.

Aktivis senior MHT yang telah malang melintang di politik ini menitip pesan untuk memetik pelajaran dari kasus peralihan kekuasaan dari Presiden Soekarno kepada Presiden Soeharto.

Terang saja pesan MHT itu memantik penulis untuk kembali mengungkap isu adanya skenario peralihan kekuasaan dari Presiden Prabowo kepada putra Presiden Indonesia ke-7, Jokowi yang sekarang menjadi Wakil Presiden, Gibran Rakabuming Raka si anak haram konstitusi. Bahkan penulis banyak mengupas isu skenario pergantian Presiden Prabowo ditengah jalan.

Tentang skenario peralihan kekuasaan sering kita dengar. Pernah pula diungkap oleh analis militer Connie Rahakundini Bakrie. Menurut informasi yang Connie terima, “Prabowo Subianto sempat menyatakan hanya akan menjabat sebagai presiden selama tiga tahun. Hal itu disampaikan langsung oleh Prabowo dalam sebuah pertemuan di Singapura”.

Bila info Connie itu benar, Presiden Prabowo akan menjabat Presiden sampai tahun 2027 dan diganti oleh Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.

Disinilah istilah “kudeta merangkak” relevan untuk dianalisis. Publik sudah mengetahui bahwa isu “kudeta merangkak” ala Jokowi mulai terjadi sejak penyusunan Kabinet Merah Putih. Termasuk skenario perpanjangan usia pensiun perwira tinggi tentara dan polisi melalui UU TNI yang baru disahkan dan RUU Polri. Sehingga petinggi militer dan polisi seperti Panglima TNI, Kepala Staf Angkatan (KSAL, KSAD, KSAU) dan Kapolri berpeluang tidak diganti sampai 2029.

Sudah menjadi spekulasi publik bahwa pertemuan antara Presiden Jokowi dan Presiden terpilih Prabowo Subianto di Solo pada tanggal 13 Oktober 2024 atau sepekan sebelum Prabowo dilantik sebagai Presiden.

Pada pertemuan 13 Oktober 2024 berhembus kencang kalau Prabowo “ditekan”. Prabowo sendiri sudah membawa draft calon menteri yang ia susun.

Bila Prabowo ingin pelantikannya sebagai presiden berjalan mulus, loyalis Jokowi harus memegang posisi kunci di Kabinet Merah Putih seperti Kabinet Merah Putih yang kita lihat hari ini. Termasuk kabarnya, tidak ada pergantian Kapolri sampai tahun 2027.

Jokowi yakin betul “kudeta merangkak” ala Soeharto akan berhasil seperti peralihan kekuasaan dari Presiden Soekarno kepada Presiden Soeharto. Presiden Prabowo sudah terkepung. Sipil, polisi bahkan militer masih dalam pengaruh Jokowi.

Hanya saja momentum apa sehingga peralihan kekuasaan dari Presiden Prabowo berjalan mulus ke Gibran Rakabuming Raka? Bila tahun 1965 ada G30S dan tahun 1966 ada Supersemar.Bedanya Soeharto didukung TNI. Sementara Jokowi didukung Polri.

Lalu tahun 2027 bakal terjadi hura-hura politik dan ekonomi seperti apa yang didesain untuk menjatuhkan Presiden Prabowo? Ini yang belum jelas. Kita baru melihat dari gejala ekonomi yang sedang tidak baik-baik saja.

Gelagat itu makin tampak hari-hari ini. Ekonomi nyungsep yang membuka peluang terjadinya krisis moneter seperti tahun 1998.

Atau sebaliknya, krisis politik yang menyebabkan Presiden Prabowo mengibarkan bendera putih pertanda tidak mampu mengatasi krisis ekonomi? Atau kombinasi keduanya dengan bermainnya RRC dan antek-anteknya dalam negeri? Wallahua’lam

Apakah Presiden Prabowo mengetahui desas-desus skenario “kudeta merangkak” ala Jokowi? Pastilah tahu. Sama halnya ketika terjadi G30S, baru enam bulan kemudian Soeharto berani head to head lawan Soekarno dengan membubarkan PKI setelah mendapat Supersemar. Hal yang selama ini dituntut oleh rakyat ketika G30S terjadi.

Sekarang Presiden Prabowo sudah menjabat enam bulan. Belum ada tanda-tanda pengaruh Jokowi melemah. Bahkan terkesan Presiden Prabowo amat bergantung kepada Jokowi. Jauh panggang dari api dalam memenuhi tuntutan rakyat; tangkap dan adili Jokowi!

Sampai kapan Presiden Prabowo berani head to head lawan Jokowi seperti Soeharto lawan Soekarno? Mengikuti strategi Soeharto, selangkah demi selangkah menyusun strategi dan kekuatan politik dan massa untuk melumpuhkan Jokowi.

Seperti kita ketahui elite Partai Gerindra sedang berupaya menggaet orang-orang kritis seperti Syahganda Nainggolan, Said Iqbal dan Eggi Sudjana yang kini jarang muncul lagi bersama TPUA dalam menggugat dugaan ijazah palsu Jokowi.

Mungkin pula ‘bertahan merangkak’ Presiden Prabowo membiarkan International Criminal Court (ICC) menangkap dan mengadili Jokowi dalam kasus KM 50 dan ijazah palsu seperti kasus Mantan Presiden Filipina Rodrigo Duterte atau isu “kudeta merangkak” ala Jokowi berhasil menurunkan Presiden Prabowo?

Wallahua’lam bish-shawab
Bandung, 27 Syawal 1446/26 April 2025
Tarmidzi Yusuf, Kolumnis