Presiden Prabowo Subianto menyatakan dukungan penuh terhadap percepatan pembahasan dan pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset dalam pidatonya di peringatan Hari Buruh Internasional (May Day) di Monas, Jakarta. Menurut Prabowo, regulasi ini sangat penting untuk mendukung upaya pemberantasan korupsi dan mengembalikan aset negara yang dirampas oleh para koruptor.
“Dalam rangka juga pemberantasan korupsi, saya mendukung Undang-Undang Perampasan Aset. Saya mendukung,” kata Prabowo di hadapan massa buruh. Ia menegaskan, “Enak aja udah nyolong enggak mau kembalikan aset, gue tarik aja.”
Pernyataan Prabowo ini langsung mendapat sambutan dari pengamat hukum dan pembangunan Hardjuno Wiwoho. Menurutnya, dukungan Presiden adalah sinyal kuat bahwa tidak ada lagi alasan untuk menunda pengesahan RUU yang sudah lama mandek sejak masuk Prolegnas pada 2012.
“Saya kira urgensi pengesahan RUU Perampasan Aset menjadi sangat krusial saat ini, sejalan dengan komitmen Presiden Prabowo dalam membasmi korupsi secara efektif dan efisien. Apalagi belakangan ini, korupsi makin merajalela di Indonesia,” kata Hardjuno dalam keterangannya kepada Radar Aktual di Jakarta, Kamis (1/5).
Hardjuno, kandidat doktor bidang Hukum dan Pembangunan Universitas Airlangga (Unair), menilai RUU ini merupakan wujud nyata dari komitmen negara dalam memberantas korupsi secara menyeluruh dan berkelanjutan.
RUU yang Sudah Terlalu Lama Tertunda
RUU Perampasan Aset sejatinya telah dirancang sejak era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dan telah beberapa kali masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas), termasuk saat Mahfud MD menjabat Menko Polhukam di era Presiden Jokowi. Namun, hingga kini, RUU ini belum juga disahkan.
“Artinya, kita sudah lebih dari satu dekade gagal mewujudkan instrumen hukum untuk mengembalikan aset negara yang dicuri. Kalau sekarang masih juga mandek, pertanyaannya: siapa yang sebenarnya takut?” tegas Hardjuno.
Ia menjelaskan, RUU ini sangat penting karena menjadi “lex specialis” yang memungkinkan perampasan aset hasil kejahatan, termasuk korupsi, tanpa harus menunggu putusan pidana. Mekanisme pembuktian terbalik dalam RUU ini juga, menurutnya, tidak melanggar asas praduga tak bersalah karena hanya berlaku terhadap kekayaan yang tidak dapat dibuktikan asal-usul sahnya.
“Negara kehilangan triliunan rupiah aset hasil korupsi yang tidak bisa disentuh karena tidak ada payung hukumnya. Kita ketinggalan dibandingkan negara-negara seperti Inggris, Swiss, bahkan negara tetangga yang sudah punya rezim perampasan aset non-konviktif,” ujarnya.
DPR dan Pemerintah Harus Segera Bergerak
Berdasarkan catatan Hardjuno, terakhir kali pemerintah mengajukan RUU ini ke DPR adalah melalui Surat Presiden Nomor R-22/Pres/05/2023 pada Mei 2023. Namun hingga kini, RUU tersebut belum juga masuk ke dalam Prolegnas Prioritas 2025.
Menteri Hukum dan HAM, Supratman Andi Agtas, menyebut bahwa pembahasan RUU ini “menyangkut urusan politik”. Namun Hardjuno menilai pernyataan Presiden Prabowo sudah cukup untuk menjadi pemutus kebuntuan politik tersebut.
“Kalau Presiden Jokowi sudah mengajukan, dan Prabowo mendukung secara terbuka, maka sekarang tinggal eksekusinya. Jika tetap mandek, maka rakyat berhak curiga: siapa yang sebenarnya takut RUU ini disahkan?” kata Hardjuno.
Ia menutup dengan penegasan bahwa keberanian politik adalah kunci utama dalam mengakhiri siklus pembiaran terhadap korupsi.
“Perlawanan terhadap korupsi tidak cukup hanya dengan pidato. Momen ini bersama Presiden Prabowo yang sudah menyatakan sikap adalah peluang terakhir untuk membuktikan komitmen itu,” pungkasnya.