Alfons Manibui Dukung Kebijakan Menteri ESDM: Hilirisasi Masa Depan Indonesia!

Komisi XII DPR menyatakan dukungan penuh terhadap kebijakan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang mendorong percepatan hilirisasi batu bara melalui pembangunan industri Dimethyl Ether (DME).

Produk ini dirancang sebagai alternatif pengganti Liquefied Petroleum Gas (LPG), sehingga diharapkan dapat mengurangi ketergantungan impor sekaligus menekan subsidi energi yang selama ini membebani APBN.

Anggota Komisi XII DPR Alfons Manibui, menyebut langkah hilirisasi ini sebagai terobosan penting untuk memperkuat ketahanan energi nasional. Dia meyakini kebijakan ini dapat menjadi solusi pemenuhan energi masa depan.

“Terima kasih Pak Dirut, paparannya sangat informatif. Kami, Fraksi Golkar, mendukung penuh kebijakan hilirisasi Kementerian ESDM karena memang hilirisasi ini masa depan kita,” ujar Alfons dalam rapat kerja Komisi XII bersama Direktur Utama PT Bukit Asam, Arsal Ismail, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (5/5/2025).

Legislator asal Papua Barat ini optimistis apabila proyek DME ini berjalan lancar, manfaatnya akan signifikan, khususnya dalam mengurangi impor dan subsidi energi.

Alfons juga mengapresiasi peran aktif Menteri ESDM Bahlil Lahadalia yang terus mendorong percepatan proyek ini.

Dia pun menegaskan pentingnya peran DPR untuk mengawal implementasi kebijakan tersebut dari sisi APBN, baik dari sisi penerimaan, pendapatan, maupun belanja negara agar target pengurangan impor dan subsidi benar-benar tercapai.

Dukungan serupa disampaikan Ketua Komisi XII DPR, Bambang Patijaya. Ia menilai pengembangan energi masa depan harus mengedepankan skema Business to Business (B2B) agar BUMN energi tidak terus bergantung pada subsidi.

“Diversifikasi hilirisasi yang dilakukan PT Bukit Asam ini sejalan dengan upaya menciptakan profitabilitas perusahaan,” ujarnya.

Sementara itu, Direktur Utama PT Bukit Asam, Arsal Ismail, memastikan kesiapan perusahaannya dalam mendukung program hilirisasi batu bara menjadi DME. Ia mengungkapkan, proyek ini telah disiapkan sejak 2021, dengan target harga awal sebesar USD 617 per ton sesuai arahan pemerintah.

Namun, karena kendala mitra air product yang mundur dan hasil studi konsultan yang menunjukkan harga keekonomian sebesar USD 854 per ton, proyek ini belum sepenuhnya berjalan.

Arsal menjelaskan bahwa biaya terbesar justru terletak pada proses hilirisasi dan downstream, di mana kontribusi harga batu bara hanya sekitar 15-16 persen dari total biaya produksi DME.

Oleh sebab itu, pihaknya kini tengah berdiskusi dengan pemerintah dan mencari investor baru yang memiliki teknologi lebih efisien agar proyek dapat berlanjut dan harga DME lebih kompetitif.

“Kalau ada investor baru dengan teknologi yang lebih murah, kami sangat terbuka. Intinya, kami siap mendukung agar proyek ini berjalan dan subsidi energi bisa ditekan,” pungkasnya.(Sumber)