Habib Bugak Asyi bukan nama yang asing lagi, khususnya bagi jemaah haji asal Aceh. Setiap tahun, jemaah haji Aceh mendapatkan wakaf dari keturunan habib tersebut.
Sosoknya seperti legenda. Tidak menatap langsung wajahnya, namun ikut merasakan manfaat dari wakafnya. Tahun ini, jemaah haji reguler Aceh sebanyak 4.738 orang mendapatkan wakaf SAR (Saudi Riyal) 2.000 atau setara Rp 8,6 juta dari Habib Bugak.
“Ya, kita sebagai orang Aceh juga mengenal karena beliau sosok yang luar biasa dalam memberikan wakaf ke seluruh warga Aceh bukan hanya sekarang tapi puluhan tahun. Sejak kecil saya sudah tahu (Habib Bugak). Sangat melegenda,” kata jemaah haji asal Aceh, Mahrizal Idris, usai menerima wakaf dari Habib Bugak di Makkah.
Lantas, siapa sebenarnya Habib Bugak yang bisa memberikan wakaf setiap tahun ke jemaah haji Aceh?
Dikutip dari website Kemenag, wakaf itu berawal dari ikrar yang dilakukan oleh Habib Bugak Al Asyi dua abad lalu. Kala itu pada tahun 1800-an, Habib Bugak yang berasal dari Arab Saudi pergi ke Aceh.
Saat berada di Aceh, Habib Bugak memiliki gagasan untuk mengumpulkan uang untuk membeli tanah di Makkah yang diwakafkan kepada jemaah haji asal Aceh. Dana tersebut berasal dari uang Habib Bugak dan juga urunan dari
Pada masa lalu, perjalanan haji dilakukan menggunakan kapal laut, yang memakan waktu berbulan-bulan, bahkansampai tahunan. Tak sedikit pula jemaah haji yang kemudian menetap di Arab Saudi.
Saat itu bahkan belum ada Kerajaan Arab Saudi seperti sekarang ini. Indonesia juga belum terbentuk. Makkah masih dikuasai Turki Ustmani.
Ketika berangkat ke Tanah Suci, Habib Bugak sudah membawa bekal dana untuk wakaf. Dan begitu sampai, niatan wakaf itu direalisasikannya. Dia membeli tanah yang lokasinya kala itu persis di samping Masjidil Haram.
Di atas tanah itu didirikan penginapan untuk menampung jemaah asal Aceh. Jemaah tak lagi bingung mencari tempat tinggal selama berada di Makkah.
Ketika Turki pergi, pemerintahan berganti. Pemerintah kala itu kemudian melakukan penataan dan perapian administrasi. Setiap tanah termasuk tanah wakaf harus ada penanggungjawabnya. Harus ada satu nama yang bertanggung jawab.
Para tokoh yang ikut menyumbang dana untuk tanah wakaf itu kemudian bersepakat agar Habib Bugak menjadi penanggung jawab dari tanah tersebut. Habib Bugak sempat menolak karena takut di kemudian hari dana wakaf diambil keluarganya. Sebab, dia ingin dana wakaf ini murni digunakan untuk kepentingan jemaah Aceh.
Akhirnya di depan mahkamah pencatatan wakaf, dimasukkanlah syarat baik mengenai penggunaan tanah wakaf maupun hasil uang dari pengelolaannya. Habib Bugak—yang akhirnya setuju namanya dipakai sebagai penanggung jawab—dalam ikrarnya menyatakan bahwa wakaf itu hanya diperuntukkan kepada jemaah asal Aceh.
Syarat wakaf itu mengingat hanya untuk jemaah haji asal Aceh. Baik mereka yang sudah menjadi warga negara di Saudi maupun yang statusnya mukimin.
Lalu saat Masjidil Haram direnovasi, tanah wakaf ini termasuk digunakan untuk perluasan lintasan tawaf. Oleh nadzir (pengelola) wakaf, uang ganti rugi digunakan untuk membeli dua bidang tanah di kawasan yang berjarak 500-an meter dari Masjidil Haram.
Tanah itu dibangun hotel oleh pengusaha dengan sistem bagi hasil. Dari situlah, “bonus” untuk jemaah Aceh mengalir tiap musim haji.(Sumber)